Jumat, 17 Mei 2013

TINDAK TUTUR GRICE



Prinsip Kerjasama Grice
oleh Diana Mayasari_Nim 12706251068
Pengantar
Kita sering melakukan percakapan dan bahkan tidak terhitung berapa kali kita melakukan percakapan dalam kehidupan sehari-hari. Misalkan saja, mahasiswi yang sedang aktif kuliah tentu dia akan melakukan percakapan ketika proses diskusi di kelas, ketika ia sedang ke perpus dia akan bercakap-cakap dengan pertugas perpus dan kalau misalkan dia anak kos dia akan sering bercakap-cakap dengan tema kosnya. Berkaitan dengan berbagai percakapan yang dilakukan oleh mahasiswi tersebut pasti memiliki tujuan yang sama, dan adanya kesatupahaman sehingga tujuan percakapan tersebut dapa tterwujud. Berkaitan dengan hal tersebut Grice (1975: 45; Wardhaugh, 2009: 291) menyatakan bahwa prinsip utama dalam percakapan adalah salah satu yang ia sebut prinsip kerjasama. Memberikan kontribusi percakapan kita pada apa diperlukan, di mana percakapan terjadi, dengan tujuan apa kita terlibat dalam pembicaraan, sehingga kita harus bertindak tutur sesuai dengan prinsip umum tersebut agar tujuan percakapan dapat terpenuhi dan menguntungkan semua pihak. Berdasarkan hal tersebut, Grice mengemukakan bahwa percakapan yang terjadi di dalam anggota masyarakat dilandasi oleh prinsip kerja sama yang terdiri atas maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi dan maksim pelaksanaan. Berikut ulasan keempat maksim tersebut.
Maksim Kuantitas
Di dalam maksim ini, seorang penutur diharapkan dapat memberikan informasi yang cukup, relatif memadai, dan seinformatif mungkin dalam sebuah percakapan dan tidak boleh melebihkan informasi dari apa yang dibutuhkan mitra tutur (Wardhaugh, 2009: 291). Tuturan yang tidak mengandung informasi yang diperlukan oleh mitra tutur dalam aktivitas bertutur dapat dikatakan melanggar maksim kuantitas begitu juga sebaliknya, apabila tuturan itu mengandung informasi berlebihan, yang berlimpah-limpah, maka akan dapat dikatakan bahwa demikian itu melanggar maksim kuantitas (Rahardi, 2007 : 54). Contoh maksim kuantitas adalah ketika ada pengumuman dalam bahasa Jawa woro-woro lelayu atau informasi yang menjelaskan ada orang yang  meninggal tidak mungkin pemberi informasi tersebut menambah atau mengurangi informasi yang diberikan dengan demikian seseorang yang memberikan berita kematian tersebut dapat dikatakan memenuhi prinsip maksim kuantitas. Sebaliknya terjadi pada ibu-ibu yang sedang belanja di kios. Apabila ibu-ibu itu dalam acara nggosip pasti mereka melanggar maksim kuantitas.
Maksim Kualitas
Maksim ini mengharapkan seorang penutur dapat menyampaikan sesuatu yang nyata dan sesuai dengan fakta yang sebenarnya di dalam aktivitas bertutur sesungguhnya. Wardhaugh  (2009: 291) mengemukakan maksim kualitas merupakan cara bertutur dengan menyampaikan perihal yang sudah diyakini kebenarannya dan didukung adanya bukti maka sebuah tuturan akan dapat dikatakan memiliki kualitas yang baik apabila tuturan sesuai dengan faktanya, sesuai dengan keadaan sesungguhnya, tidak mengada-ada, tidak dibuat-buat, tidak direkayasa. Namun, dalam praktik bertutur akankah maksim kualitas ini selalu ditaati? Realitanya tidak. Hal ini nampak ketika kita sedang bertutur sapa khususnya bagi orang Jawa. Misalnya ada teman sejawat yang sedang bertamu dan ingin berpamitan untuk pulang  orang Jawa (bahasa Jawa Kediri) sering mengucapkan “ kok kesusu ae to wong yo lagek sediluk” yang artinya “kok buru-buru pulang padahal baru sebentar”. Kalimat ini diucapkan sebagai bentuk basa-basi untuk menghormati tamu. Padahal dalam realitanya mungkin tamu itu sudah lama atau bahkan sudah berjam-jam dan belum pulang.
Istilah ‘sugar-coating’ dalam berkomunikasi dengan sesama sepertinya juga merupakan istilah yang berseberangan dnegan maksim kualitas. Adapun yang dimaksud denga prinsip ‘sugar-coating’ adalah prinsip untuk ‘membalut’ informasi yang tidak tepat sehingga menjadi terasa lebih tepat dengan cara sedikit diubah dan ‘dimaniskan’. Dalam banyak hal pula, orang perlu sekali untuk berbohong, tetapi ‘berbohong yang putih’ alias ‘white lies’. Dengan adanya ini pula, maksim kualitas dalm prinsip kerjasama ini harus dilanggar. Akan tetapi, pelanggaran maksim ini dimaksudkan untuk mengoptimalkan dan menyempurnakan relasi dalam komunikasi (Rahardi, 2009 : 24).
Maksim Relevansi
            Maksim relevansi dengan tegas menyatakan bahwa agar dapat terjalin kerjasama yang baik antara penutur dan mitra tutur dalam praktek bertutur sapa yang sesungguhnya masing-masing hendaknya berkontribusi yang benar-benar relevan tentang sesuatu yang sedang diperbincangkan itu. Bertutur dengan tidak memberikan kontribusi yang relevan seperti itu, akan dapat dianggap tidak mematuhi prinsip kerjasama Grice (Rahardi, 2007 : 56).
Contoh pelanggaran maksim relevansi akan terjadi kelucuan sebagaimana tuturan yang terjadi di tempat fotokopi berikut.
A: “Bang, fotokopiin KTP lima lembar ya!”
B:”Aslinya mana Neng?”
A:” (menjawab dengan tersipu malu) saya asli Bandung Bang, Emang kenapa?”
B:” Maksud saya, KTP aslinya mana yang mau difoto kopi?”
A:”####”

Pada tuturan tersebut terjadi pelanggaran maksin relevansi pada kalimat yang disampaikan B “Aslinya mana Neng?” dan dijawab oleh A dengan jawaban daerah asal mitra tutur padahal yang ditanyakan bukanlah daerah asli mitra tutur melainkan KTP asli dari A. Pelanggaran maksim relevansi tersebut memunculkan kelucuan atau yang dikenal dengan stand up comedi
Tidak setiap waktu orang harus berbicara dengan memegang teguh prinsip relevansi. Untuk maksud-maksud yang tidak sepenuhnya informatif kita dapat sengaja melanggar maksim relevansi di dalam komunikasi ini. Kearifan-kearifan lokal tertentu yang berwujud ‘dagelan, guyon maton, ludruk, ketoprak humor’ banyak memerantikan kepiawaian di dalam mendayagunakan maksim relevansi. Dengan demikian perbincangan-perbincangan yang khas dan natural dalam sebuah masyarakat dengan mudah dapat dilakukan (Rahardi, 2007 : 26).
 Maksim Pelaksanaan
Maksim pelaksanaan mewajibkan setiap peserta pertuturan dalam menyampaikan informasi secara langsung, jelas, teratur, tidak kabur, tidak samar, singkat, menghindari ambiguitas dan ketidak jelasan ekspresi (Wardhaugh, 2009: 291). Penutur yang tidak dengan secara cermat mempertimbangkan hal-hal yang disampaikan akan dikatakan melanggar maksim pelaksanaan.
Berkenaan dengan itu, tuturan berikut ini sebagai contoh ilustrasinya :
(a)   “Ayo cepat dibuka !”
(b)   “Sebentar dulu, masih malas.”
Konteks : dituturkan oleh kakak pembina kepada adik binaannya.

Tuturaan diatas memilki tingkat kejelasan yang rendah. Karena kadar kejelasan rendah maka informasi yang diberikan akan kabur, samar, dan ambigu. Tuturan  penutur (a) sama sekali tidak memberikan kejelasan tentang apa yang sebenarnya diminta untuk dibuka. Tuturan tersebut dapat dikatakn melanggar prinsip kerjasama Grice karena tidak mematuhi maksim pelaksanaan.

PENUTUP

Berdasarkan ulasan yang telah dipaparkan dapat disimpulkan bahwa dalam bertutur harus memiliki kesepahaman, tujuan dan menaati prinsip kerjasama yang telah dikemukakan oleh Grice untuk mencapai menguatkan relasi dalam tuturan. Namun, tidak semua pertuturan harus mentaati prinsip kerjasama tersebut. Prinsip kerjasama ini akan banyak bermanfaat untuk mencermati masalah-masalah yang sifatnya tekstual, bukan yang interpersonal. Untuk retorika yang sifatnya interpersonal, prinsip kesantunan berbahasa yang akan dapat bermanfaat banyak. Maka sering dikatakan bahwa prinsip kerjasama di dalam pertuturan sesungguhnya harus dilengkapi dengan prinsip kesantunan berbahasa. Bagi para stand up comedi dan pelawak  atau komedian pelanggaran berbagai maksim dalam prinsip kerjasama akan meningkatkan kadar kelucuan sehingga maksim-maksim tersebut sengaja dilanggar.
Daftar pustaka
Rahardi, Kunjana. 2007. Pragmatik : Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta : Erlangga.
Rahardi, Kunjana. 2009. Sosiopragmatik : Kajian Imperatif dalam Wadah Konteks Sosiokultural dan Konteks Situasionalnya.   Jakarta : Erlangga.
Wardhaugh, Ronald. 2009. An Introduction To Sosiolinguistics. New York: Basil Black Well Inc.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar