Prinsip Kerjasama Grice
oleh Diana Mayasari_Nim 12706251068
oleh Diana Mayasari_Nim 12706251068
Pengantar
Kita sering melakukan percakapan dan bahkan tidak terhitung berapa kali
kita melakukan percakapan dalam kehidupan sehari-hari. Misalkan saja, mahasiswi
yang sedang aktif kuliah tentu dia akan melakukan percakapan ketika proses
diskusi di kelas, ketika ia sedang ke perpus dia akan bercakap-cakap dengan
pertugas perpus dan kalau misalkan dia anak kos dia akan sering bercakap-cakap
dengan tema kosnya. Berkaitan dengan berbagai percakapan yang dilakukan oleh
mahasiswi tersebut pasti memiliki tujuan yang sama, dan adanya kesatupahaman
sehingga tujuan percakapan tersebut dapa tterwujud. Berkaitan dengan hal tersebut Grice
(1975: 45; Wardhaugh, 2009: 291) menyatakan bahwa
prinsip utama dalam percakapan adalah salah
satu yang ia sebut prinsip kerjasama.
Memberikan kontribusi percakapan kita
pada apa diperlukan, di mana percakapan terjadi, dengan tujuan apa kita terlibat dalam pembicaraan,
sehingga kita harus bertindak tutur sesuai
dengan prinsip umum tersebut agar
tujuan percakapan dapat terpenuhi dan menguntungkan semua
pihak. Berdasarkan hal tersebut, Grice
mengemukakan bahwa percakapan yang terjadi di dalam anggota masyarakat
dilandasi oleh prinsip kerja sama yang terdiri
atas maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi dan maksim
pelaksanaan. Berikut ulasan keempat maksim tersebut.
Maksim Kuantitas
Di
dalam maksim ini, seorang penutur diharapkan dapat memberikan informasi yang
cukup, relatif memadai, dan seinformatif mungkin dalam sebuah percakapan dan tidak boleh melebihkan
informasi dari apa yang dibutuhkan mitra tutur (Wardhaugh, 2009: 291).
Tuturan yang tidak
mengandung informasi yang
diperlukan oleh mitra tutur dalam
aktivitas bertutur dapat dikatakan melanggar maksim kuantitas begitu juga sebaliknya, apabila
tuturan itu mengandung informasi
berlebihan, yang berlimpah-limpah, maka akan dapat dikatakan bahwa demikian itu melanggar maksim kuantitas (Rahardi, 2007
: 54).
Contoh maksim kuantitas adalah ketika ada pengumuman dalam
bahasa Jawa woro-woro lelayu atau
informasi yang menjelaskan ada orang yang
meninggal tidak mungkin pemberi informasi tersebut menambah atau
mengurangi informasi yang diberikan dengan demikian seseorang yang memberikan
berita kematian tersebut dapat dikatakan memenuhi prinsip maksim kuantitas.
Sebaliknya terjadi pada ibu-ibu yang sedang belanja di kios. Apabila ibu-ibu
itu dalam acara nggosip pasti mereka
melanggar maksim kuantitas.
Maksim Kualitas
Maksim ini mengharapkan seorang penutur dapat
menyampaikan sesuatu yang nyata dan sesuai dengan fakta yang sebenarnya di
dalam aktivitas bertutur sesungguhnya. Wardhaugh (2009: 291) mengemukakan maksim kualitas
merupakan cara bertutur dengan menyampaikan perihal yang sudah diyakini
kebenarannya dan didukung adanya bukti maka sebuah tuturan akan dapat dikatakan
memiliki kualitas yang baik apabila tuturan sesuai dengan faktanya, sesuai
dengan keadaan sesungguhnya, tidak mengada-ada, tidak dibuat-buat, tidak direkayasa.
Namun, dalam praktik bertutur akankah maksim kualitas ini selalu ditaati?
Realitanya tidak. Hal ini nampak ketika kita sedang bertutur sapa khususnya
bagi orang Jawa. Misalnya ada teman sejawat yang sedang bertamu dan ingin
berpamitan untuk pulang orang Jawa
(bahasa Jawa Kediri) sering mengucapkan “ kok kesusu ae to wong yo lagek
sediluk” yang artinya “kok buru-buru pulang padahal baru sebentar”. Kalimat ini
diucapkan sebagai bentuk basa-basi untuk menghormati tamu. Padahal dalam
realitanya mungkin tamu itu sudah lama atau bahkan sudah berjam-jam dan belum
pulang.
Istilah ‘sugar-coating’
dalam berkomunikasi dengan sesama sepertinya juga merupakan istilah yang
berseberangan dnegan maksim kualitas. Adapun yang dimaksud denga prinsip ‘sugar-coating’ adalah prinsip untuk
‘membalut’ informasi yang tidak tepat sehingga menjadi terasa lebih tepat dengan
cara sedikit diubah dan ‘dimaniskan’.
Dalam banyak hal pula, orang perlu sekali untuk berbohong, tetapi ‘berbohong yang putih’ alias ‘white lies’. Dengan adanya ini pula,
maksim kualitas dalm prinsip kerjasama ini harus dilanggar. Akan tetapi,
pelanggaran maksim ini dimaksudkan untuk mengoptimalkan dan menyempurnakan
relasi dalam komunikasi (Rahardi, 2009
: 24).
Maksim Relevansi
Maksim relevansi dengan tegas menyatakan
bahwa agar dapat terjalin kerjasama yang baik antara penutur dan mitra tutur
dalam praktek bertutur sapa yang sesungguhnya masing-masing hendaknya
berkontribusi yang benar-benar relevan tentang sesuatu yang sedang diperbincangkan
itu. Bertutur dengan tidak memberikan kontribusi yang relevan seperti itu, akan
dapat dianggap tidak mematuhi prinsip kerjasama Grice (Rahardi, 2007 : 56).
Contoh pelanggaran maksim relevansi akan terjadi kelucuan
sebagaimana tuturan yang terjadi di tempat fotokopi berikut.
A: “Bang, fotokopiin KTP lima lembar ya!”
B:”Aslinya mana Neng?”
A:” (menjawab dengan tersipu malu) saya asli Bandung
Bang, Emang kenapa?”
B:” Maksud saya, KTP aslinya mana yang mau difoto kopi?”
A:”####”
Pada tuturan tersebut terjadi pelanggaran maksin
relevansi pada kalimat yang disampaikan B “Aslinya mana Neng?” dan dijawab oleh A dengan jawaban
daerah asal mitra tutur padahal yang ditanyakan bukanlah daerah asli mitra
tutur melainkan KTP asli dari A. Pelanggaran maksim relevansi tersebut
memunculkan kelucuan atau yang dikenal dengan stand up comedi
Tidak setiap waktu orang harus berbicara dengan memegang
teguh prinsip relevansi. Untuk maksud-maksud yang tidak sepenuhnya informatif
kita dapat sengaja melanggar maksim relevansi di dalam komunikasi ini.
Kearifan-kearifan lokal tertentu yang berwujud ‘dagelan, guyon maton, ludruk, ketoprak humor’ banyak memerantikan
kepiawaian di dalam mendayagunakan maksim relevansi. Dengan demikian perbincangan-perbincangan
yang khas dan natural dalam sebuah masyarakat dengan mudah dapat dilakukan (Rahardi, 2007 : 26).
Maksim
Pelaksanaan
Maksim pelaksanaan mewajibkan setiap peserta pertuturan
dalam menyampaikan informasi secara langsung, jelas, teratur, tidak kabur,
tidak samar, singkat, menghindari ambiguitas dan ketidak jelasan ekspresi
(Wardhaugh, 2009: 291). Penutur yang tidak dengan secara cermat
mempertimbangkan hal-hal yang disampaikan akan dikatakan melanggar maksim
pelaksanaan.
Berkenaan
dengan itu, tuturan berikut ini sebagai contoh ilustrasinya :
(a) “Ayo
cepat dibuka !”
(b) “Sebentar
dulu, masih malas.”
Konteks : dituturkan oleh kakak pembina kepada adik
binaannya.
Tuturaan diatas memilki tingkat kejelasan yang rendah.
Karena kadar kejelasan rendah maka informasi yang diberikan akan kabur, samar,
dan ambigu. Tuturan penutur (a) sama
sekali tidak memberikan kejelasan tentang apa yang sebenarnya diminta untuk dibuka. Tuturan tersebut dapat dikatakn
melanggar prinsip kerjasama Grice karena tidak mematuhi maksim pelaksanaan.
PENUTUP
Berdasarkan ulasan yang telah dipaparkan dapat
disimpulkan bahwa dalam bertutur harus memiliki kesepahaman, tujuan dan menaati
prinsip kerjasama yang telah
dikemukakan oleh Grice untuk mencapai menguatkan relasi dalam tuturan. Namun,
tidak semua pertuturan harus mentaati prinsip kerjasama tersebut. Prinsip kerjasama
ini akan banyak bermanfaat untuk mencermati masalah-masalah yang sifatnya
tekstual, bukan yang interpersonal. Untuk retorika yang sifatnya interpersonal,
prinsip kesantunan berbahasa yang akan dapat bermanfaat banyak. Maka sering
dikatakan bahwa prinsip kerjasama di dalam pertuturan sesungguhnya harus
dilengkapi dengan prinsip kesantunan berbahasa. Bagi para stand up comedi dan pelawak atau komedian
pelanggaran berbagai maksim dalam prinsip kerjasama akan meningkatkan kadar
kelucuan sehingga maksim-maksim tersebut sengaja dilanggar.
Daftar pustaka
Rahardi, Kunjana. 2007. Pragmatik : Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta :
Erlangga.
Rahardi, Kunjana. 2009. Sosiopragmatik : Kajian Imperatif dalam Wadah Konteks Sosiokultural dan
Konteks Situasionalnya. Jakarta : Erlangga.
Wardhaugh, Ronald. 2009. An Introduction To Sosiolinguistics. New York: Basil Black Well
Inc.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar