Variasi Sosial Pengguna Bahasa
oleh Diana Mayasari_12706251068
oleh Diana Mayasari_12706251068
Pengantar
Masyarakat yang ada di sekitar kita bukan
masyarakat yang homogen. Hal ini dapat dilihat dari gender, pendidikan, status
sosial, kelas sosial, umur, pekerjaan, agama dan pranata sosial sehingga
muncullah variasi bahasa. Sebagai contoh bahasa yang digunakan oleh dosen,
guru, kyai dan berbagai profesi lainnya tentu berbeda dengan bahasa yang
digunakan oleh tukang becak, penjual bakso, penjual dipasar. Bahasa yang
digunakan oleh mahasiswa tentu berbeda dengan bahasa yang digunakan oleh buruh
pabrik sepatu yang rata-rata pendidikannya berkahir pada jenjang SMP atau SMA.
Berikut akan dipaparkan berbagai variasi sosial pengguna bahasa berdasarkan
status sosial, gender dan usia.
Variasi Sosial
Berdasarkan Status Sosial
Istilah Status sosial tidak lepas dari kelas sosial
sebagai istilah yang memiliki kemiripan, namun dalam realitanya keduanya
memiliki perbedaan. Sumarsono (2007: 43-44) mengemukakan bahwa kelas sosial mengarah pada golongan
masyarakat yang memiliki kesamaan pada aspek-aspek tertentu, seperti ekonomi, pekerjaan,
pendidikan, kedudukan, kasta dan sebagainya. Pada status sosial harus dibedakan antara kasta dan kelas sosial, yakni
kasta bersifat tertutup, artinya masing-masing kasta tidak bebas atau seenaknya
masuk ke kasta yang lainnya sedangkan kelas sosial bersifat terbuka, yakni
memungkinkan adanya mobilitas sosial atau proses berpindah dari kelas sosial
yang satu ke kelas sosial yang lain.
Penelitian mengenai kelas sosial dilakukan oleh
Labov yang menghasilkan bahwa seorang individu dari kelas tertentu, umur
tertentu, jenis kelamin tertentu akan menggunakan variasi bentuk bahasa tertentu
pula, sehingga dengan hasil penelitian ini kita dapat membuat korelasi antara
ciri-ciri kebahasaan dan kelas sosial (Milroy dan Milroy 1998: 38). Lepas dari
penelitian tersebeut Labov juga berhipotesis bahwa penutur memiliki frekuensi
tingkat penggunaan prestige sebuah
bahasa berdasarkan latar belakang kelas sosial dan hipotesis ini dibenarkan
oleh Brown dan Attardo (2003: 103) bahwa kelas sosial memiliki dampak pada
penggunaan bentuk-bentuk prestige
suatu bahasa. Akibat munculnya kelas sosial dalam pengguna bahasa maka
muncullah istilah akrolek, basilek, mesolek, pidgin dan kreol.
1.
Akrolek
Akrolek
mengarah pada bahasa Inggris yang digunakan orang Guyana yang terpelajar, yakni
sebuah bahasa Inggris yang memiliki sedikit perbedaan dengan variasi-variasi
bahasa Inggris standar.
2.
Basilek
Basilek
merujuk pada variasi yang sedikit dapat dipahami oleh orang yang berbicara
bahasa Inggris standar dan mungkin bahkan tidak dapat dipahami oleh pengguna
bahasa Inggris pada umumnya.
3.
Mesolek
Mesolek diartikan sebagai
variasi intermediet yang memiliki karakteristik penting yaitu mengkombinasikan
basilek dan akrolek untuk mengisi jarak antara akrolek dan basilek.
4.
Pidgin
Sebagai
salah satu bahasa yang dihasilkan dari kontak bahasa dan merupakan bahasa lingua franca. Pidgin merupakan bahasa
yang muncul sebagai bentuk interaksi antara dua penutur yang memiliki bahasa
yang berbeda sehingga harus menggunakan bahasa yang dapat dimengerti oleh
keduanya untuk berkomunikasi (Brown dan Atttardo, 2000: 114).
5.
Kreol
Bahasa kreol
berasalal dari bahasa pidgin, yakni kertika pidgin digunakan secara terus
menerus dan memiliki kemanafaatan dan memiliki penutur asli baik itu sebagai lingua franca maupun telah menetap di
suatu masyarakat seperti bahasa africanos
yang ada di Australia yakni dari proses pidginasi bahasa Inggris dan bahasa Belanda
(Brown dan Attardo, 2003: 117)
Variasi Sosial
Berdasarkan Gender
Variasi bahasa berdasarkan gender berhubungan
dnegan cara masyarakat untuk berkomunikasi. Banyak pendapat yang menyatakan
bahwa antara laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan ketika menggunakan
bahasa, baik itu dilihat dari segi kemandirian, cara bersosialisasi, cara berelasi
dalam jaringan sosial, bentuk sensitivitas yang dimiliki perempuan,dan adanya
pengalaman hidup yang mengajari berbicara secara linguistik (Wardhaugh, 2006:
326-328). Sedangkan Sumarsono (2007: 113) menyatakan bahawa variasi sosial
berdasarkan jenis kelamin timbul karena adanya gejala sosial yang memiliki
kaitan dengan sikap sosial. Namun
berbagai pendapat adanya perbedaan bahasa antargender saat ini telah mengalami
perubahan karena dengan berkembangannya zaman sangat sulit sekali membedakan
dana bahkan memang sengaja tidak dibedakan anatar laki-laki dan perempuan.
Dalam artian mereka memiliki posisi yang sejajar
Variasi sosial berdasarkan usia
Pengguna bahasa berdasarkan usia
diklasifikasikan berdasarkan tiga kelompok, yakni kelompok kanak-kanak,
kelompok remaja, dan kelompok dewasa.
1.
Kelompok anak-anak
Pada
masa anak-anak terkenal dengan masa golden
age, yakni masa anak sangat peka terhadap aspek motorik, intelektual,
sosial, emosi maupun bahasa. Masa ini dimulai pada usia 18 bulan sampai akhir
masa lateralisasi. Komponen bahasa
anak pada tahap ini meliputi komponen fonologi,
sintaksis, dan semantik. Komponen
fonologi merupakan satuan trekecil dari bunyi bahasa serperti anak mulai
belajar huruf-huruf bilabial dan huruf-huruf yang lebih mudah diucapkan sesuai
dengan perkembangan alat wicaranya. Selanjutnya pada tahap sintaksis setiap
anak memiliki kemampuan yang berbeda-beda seperti dalam mengucapkan satu kata
namun sudah bisa berarti satu kalimat seperti dalam mengucapkan kata maem, mungkin yang ingin disampaikan
adalah ma aku ingin maem, atau ma aku lapar, ma ambilkan maem aku mau makan dan lain sebagainya. Fitur semantik
berkaitan dengan arti suatu kata yang ingin disampaikan oleh anak. Misalnya,
ketika anak mengucapkan ma, nen-nen ini yang sering diucapkan keponakan saya
dan itu memerikan arti bahwa dia ingin naik
motor yang dia sebut nen-nen.
2.
Kelompok remaja
Bahasa
remaja merupakan bahasa yang sangat variatif karena pada tahap ini penutur
memperkaya kosakata dengan adanya pengaruh dari bahasa-bahasa yang
disekitarnya, kemudian muncullah bahasa prokem,
slang, jargon, bahasa gang-gang tertentu, dan muncul bahasa gaul, bahasa alay dan lain sebagainya.
3.
Kelompok dewasa
Pada
kelompok ini penutur sudah mampu bepikir secara demokratis, bijaksana, dan
bertanggung jawab. Usia yang matang menyebabkan penutur akan lebih menunjukkan
ciri bahasanya, jika pergaulannya atau lingkungan sekitarnya berenergi positif
maka bahasa yang ia gunakan adalah baik begitu juga sebaliknya. Kelompok dewasa
merupakan tahap yang sudah mampu menunjukkan karakter dengan tegas tidak seperti
pada usia remaja.
Variasi sosial berdasarkan pendidikan
Chaer dan Agustina (2010: 65) mengemukaan
perbedaan pendidikan penutur akan memperlihatkan variasi bahasa terkait, seperti
isi, kosakata, pelafalan, morfologi dan sintaksis yang berbeda. Sedangkan
Sumarsono (2011: 53 ) mengungkapkan bahwa perbedaan yang menonjol pada variasi
bahasa berkaitan dengan pendidikan adalah adanya kode terperinci dan kode
terbatas. Kode terperinci digunakan dalam situasi formal dan memiliki ciri-ciri
ragam bahasa yang tinggi, bermutu, menggunakan bahasa asing dengan baik dan
bahasa yang tersusun baik secara gramatikal, sedangkan kode terbatas digunakan
dalam situasi nonformal dan terikat dengan konteks.
Variasi sosial
berdasarkan pekerjaan
Masing-masing penutur yang memiliki pekerjaan
yang berbeda juga memiliki register yang berbeda. Wardhaugh (2006) memberikan
definisi sebagai satu perangkat language
items yang memiliki hubungan khusus dengan kelompok sosial atau pekerjaan
tertentu. Selain itu Ferguson (1994; Wardhaugh, 2006) menyatakan bahwa
orang-orang yang berada dalam situasi komunikasi yang terus berulang-ulang cenderung
mengembangkan kosakata, intonasi, karakteristik sintaksis dan fonologi yang
serupa. Kemudian variasi-variasi ini disebut dengan rigister. Realitas ini bisa dilihat dari variasi bahasa yang
digunakan oleh guru atau dosen pasti akan berbeda dari yang digunakan para
dokter atau montir. Kata operasi bagi dokter dan bagi polisi juga memiliki
makna yang berbeda.
Variasi Bahasa Berdasarkan Religi Agama
Sejarah masuknya agama sebagai variasi bahasa
dimulai oleh Hugen dan fishman, William Stewart dan Charles Ferguson. Stewart
(1968: 541; Darquennes dan Vandenbussche, 2011) menyusun daftar fungsi bahasa
religius sebagai salah satu dari 10 fungsi bahasa. Salah satu karya yang
menjadi kerangka hubungan bahasa dan agama adalah Concise Encyclopedia Of Language And Religius (Darquennes dan Vardenbussche,
2011) yang diedit oleh swayer dan simpson yang terdiri dari 6 bagian pokok
sebagai berikut.
1.
Bahasa dalam konteks agama
tertentu
2.
Tulisan dan terjemahan yang
disakralkan
3.
Bahasa dan naskah religius
4.
Penggunaan bahasa-bahasa khusus
5.
Keyakinan tentang bahasa
6.
Agama dan penelitian bahasa.
Selian pendapat tersebut Spolsky melalui Darquennes
dan Vandenbussche (2011) menyebutkan dimensi-dimenis bahasa dan agama dalam
kerangka sebagai berikut.
1.
Efek bahasa terhadap bahasa
2.
Mutualitas bahasa dan agama
3.
Efek bahasa dan agama
4.
Bahasa, agama, dan literasi (daya
baca).
Variasi Sosial
Berdasarkan Pranata Sosial
Pranata sosial meruapakan sistem norma dalam
masyarakat yang bersifat resmi untuk mengatur tingkah laku guna memenuhi kebutuhan
hidup. Pandangan yang yang terkenal memiliki hubungan dengan variasi bahasa
terkait pranata sosial adalah hipotesis Saphir- Whorf. Hipotesis ini
menyebutkan bahwa penutur bahasa menggolong-golongkan dunia menurut batasan
yang telah digariskan oleh bahasa asli yang dimilikinya. Namun, pada
kenyataannya hipotesis ini tidak dapat diterima seutuhnya karena adanya
beberapa faktor berikut.
1.
Lingkungan fisik
Faktor
ini memiliki kaitan dengan lingkungan tempat tinggal masyarakat penutur bahasa
karena lingkungan tersebut akan mempengaruhi perbendaharaan kata-kata yang
digunakan. Seperti penyebutan salju bagi orang Eskimo memiliki kata atau
penyebutan berbeda-beda yang berbeda dengan kosakata orang Noneskimo.
2.
Lingkungan sosial
Faktor
lingkungan sosial juga mempengaruhi struktur kosakata dalam berbahasa, misalkan
kata family pada orang Amerika. Kata family
cenderung pada keluarga yang terdiri dari suami, istri, dan anak-anaknya. Hal
ini berbeda ketika kata keluarga
diucapkan di Indonesia yang berarti orang-orang yang masih memmpunyai hubungan
darah dengan kita dan mencakup juga orang-orang diluar suami dan anak-anaknya.
3.
Lapisan-lapisan masyarakat dan
kasta
Lapisan
masyarakat ini terlihat di Bali pada kasta Sudra,
Waisya, Ksatria dan Brahmana tentu masing-masing kasta tersebut menggunakan
kosakata yang berbeda. Sedangkan lapisan masyarakat seperti yang terdapat di
masyarakat Jawa misalnya daerah istimewa Yogyakarta. Di daerah istemawa
Yogyakarta terdapat lapisan anggota keluarga keraton sebagai lapisan atas dan
abdi dalem sebagai lapisan menengah serta masyarakat biasa.
4.
Nilai-nilai sosial yang
berpengaruh pada bahasa masyarakat.
Nilai-nilai
masyarakat ini yang dimaksud adalah perbedaan hal yang dianggap tabu. Tabu
menyangkut tingkah laku yang terlarang, dianggap tidak layak dan dengan adanya pembatas
itu maka diharapkan penutur menggunakan kata lain selain kata yang dianggap
tabu tersebut. Misalnya kata kacang dalam bahasa Jawa akan memiliki makna yang
berebeda bagi masyarakat pengguna bahasa Sunda.
Penutup
Berdasarkan pemaparan diatas dapat
disimpulkan bahwa variasi sosial pengguna bahasa dapat dibedakan berdasarkan
status sosial dimana seseorang dapat memiliki status sosial lebih dari satu dan
kelas sosial memunculkan variasi bahasa yang terdiri atas akrolek, basilek, mesolek, pidgin dan kreol. Variasi berdasarkan gender dapat dibedakan menjadi variasi
yang dimunculkan laki-laki dan perempuan, variasi bahasa berdasarkan usia
dibedakan menjadi anak-anak, remaja dan dewasa, variasi bahasa berdasarkan
pendidikan dapat dilihat melalui kosakata tinggi dan bermutu, kalimat tersusun
secara gramatikal, variasi bahasa dari segi pekerjaan berkaitan erat dengan
register, variasi bahasa berdasarkan religi dapat dilihat dari kegunaan bahasa
dalam agama dan variasi bahasa berdasarkan pranata sosial terkait erat dengan
hipotesis Saphir-Whorf.
Daftar Pustaka
Brown, S. Dan Attardo, S. 2003. Understanding
Language Structure, Interaction, And Variation. An Introduction To Applied
Linguistics And Sosiolinguistcs For Nonspecialists. Michigan: The
University Of Michigan Press.
Cahyono, Bambang Yudi. 1995. Kristal-Kristal
Ilmu Bahsa. Surabaya: Airlangga University Press.
Chaer, Abdul dan Agustina, Leonie.2010. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: PT Rineka Cipta
Darquennes, Jeroen and Vandenbussche, Wim. Language And Religion As A Sosiolinguistic Field Of A Study: Some
Introductory Notes. Sociolinguistics, International Yearbook Of European
Sociolinguististics. 2012.
Milroy, J, & Milroy, L . 1998. The
Hanbook Of Sociolinguistics. Ed. Florian Columas. Blacwell Reference
Online.
Sumarsono. 2007. Sosiolinguistik.
Yogyakarta; Sabda dan Pustaka Pelajar.
--------------. 2011. Sosiolinguistik.
Yogyakarta; Sabda dan Pustaka Pelajar.
Wardhaugh, Ronald. 2006. An
introduction to sociolinguistics. New York: Basil Blackwell Inc.