Assalamualaikum....
Selamat datang di blog diana mayasari.
semoga apa yang saya tulis menjadi wacana yang bermanfaat bagi yang
membutuhkan khususnya dalam bidang bahasa.Bahasa sebagai sarana
komunikasi tak lepas dari berbagai macam fenomena yang terus
menggelutinya, sehingga bahasa merupakan salah satu topik yang unik dan
tidak ada habisnya untuk dibahas.
Rumah linguistik merupakan salah
satu blog dan yang diharapkan menjadi wadah untuk belajar segala sesuatu yang berhubungan dengan bahasa, baik itu
linguistik murni, maupun linguistik terapan.Blog
ini menyajikan berbagai essay sosiolinguistik. bagi rekan-rekan yang
telah membaca mohon meninggalkan komentar ya, sebagai saran dan
perbaikan penulisan blog.
terimakasih....
wassalamualaikum....
Minggu, 30 Juni 2013
Rabu, 19 Juni 2013
Pemertahanan dan Kepunahan Bahasa
Pemertahanan dan Kepunahan Bahasa
Integrasi, Pidgin, Kreol, Diglosia,
Oleh Diana Mayasari_12706251068
Mackey mendefinisikan integrasi sebagai unsur-unsur lain yang digunakan
dalam bahasa tertentu dan dianggap sudah menjadi warga bahasa tersebut (tidak
dianggap lagi sebagai unsur pinjaman atau pungutan). Pengintegrasian bahasa
asing ke dalam bahasa Indonesia bisa melalui proses penerimaan ataupun proses
penyerapan. Penerimaan unsur bahasa
lain dalam bahasa tertentu membutuhkan waktu dan tahap yang cukup lama. Proses
integrasi ini biasanya diawali ketika suatu bahasa tidak memiliki padanan kata
yang ada di dalam bahasa lain tersebut atau bisa saja ada padanannya namun
tidak diketahui. Keadaan itu akan berdampak pada proses peminjaman bahasa dari
bahasa lain/bahasa asing. Apabila unsur pinjaman tersebut sudah bersifat umum
atau bisa diterima, dan dipergunakan oleh sebagian besar masyarakat maka
barulah bahasa tersebut bisa dikatakan sudah terintegrasi dengan bahasa yang
dimasukinya (Chaer dan Agustina, 2010:128) .
Proses pengintegrasian
bahasa biasanya mengalami tahapan penyesuaian dengan bahasa yang dimasukinya.
Bentuk penyesuaiannya dapat berupa perubahan fonem yang nantinya juga
mengakibatkan perubahan bunyi sesuai dengan bunyi-bunyi atau jenis kata yang
ada dan biasa diucapkan di dalam bahasa yang dimasukinya. Untuk bahasa
Indonesia, bahasa asing yang integrasikan biasanya disesuaikan ejannya dengan
Pedoman Umum Pembentukan Istilah dan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang
disempurnakan, contohnya kata research
dalam bahasa Inggris yang diintegrasikan ke dalam bahasa Indonesia dan diubah
menjadi kata riset. Untuk mengetahui apakah bahasa asing telah terintegrasi ke
dalam bahasa Indonesia umumnya bisa diukur dari keadaan bahasa atau kata
tersebut apakah sudah tercantum atau belum di dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia.
Proses penerimaan unsur
bahasa asing, khususnya unsur kosakata dalam bahasa Indonesia lebih banyak
terjadi melalui proses mendengar atau audial.
Apa yang didengar maka itulah yang akan diujarkan atau dituliskan sehingga
seringkali menimbulkan ketidakteraturan. Contohnya kata horloge menjadi arloji, dan kata appel menjadi apel, dan lain sebagainya. Akan tetapi, jika dilihat
dari konteks penyerapan bahasa maka proses pengintegrasian bahasa menurut Abdul
Chaer dan Leoni Agustina (2010: 129) bisa melalui dua proses, yakni:
1.
penerjemahan langsung, maksudnya kosakata
tersebut dicarikan padanannya dalam bahasa Indonesia. Misalnya airport menjadi bandar udara, joint venture menjadi usaha patungan, balance budget menjadi anggaran
berimbang, dan lain sebagainya.
2.
penerjemahan konsep, maksudnya konsep
bahasa asing tersebut diteliti dengan seksama kemudian dicarikan padanan
konsepnya yang paling dekat dalam bahasa Indonesia. Misalnya, begroting post menjadi mata anggaran, network menjadi jaringan, brother in law
menjadi ipar laki-laki, dan lain sebagainya.
Salah satu contoh
dampak positif dan negatifnya khususnya bagi bahasa Indonesia adalah
pengintegrasian bahasa bisa memperkaya khazanah kosakata bahasa Indonesia namun
bisa juga menimbulkan ketimpangan dari bahasa yang diserap. Misalnya
mengakibatkan konsonan /k/, /p/, /s/, /t/ yang seharusnya luluh menjadi tidak
dilluluhkan dengan alasan untuk mempermudah mengenali bentuk asli atau bentuk
dasarnya seperti program, proklamasi,
prakarsa, teraktir, transfer, transkripsi, sponsor, standar dan lain
sebagainya. Beberapa contoh konkritnya bisa dilihat pada kata memprogramkan
yang seharusnya memrogramkan, pemprograman seharusnya pemrograman, mentraktir
seharusnya menraktir, dan pemproklamsikan seharusnya pemroklamasikan.
o
Apa itu pidgin dan kreol ?
Thomason
(2001:159), menyatakan bahwa pidgin
secara tradisional adalah bahasa yang muncul dalam kontak situasi baru yang
melibatkan lebih dari dua kelompok kebahasaan. Kelompok-kelompok ini tidak
memiliki satupun bahasa yang diketahui secara luas diantara kelompok-kelompok
yang saling terkontak. Mereka perlu berkomunikasi secara teratur, namun untuk
tujuan yang terbatas, misalnya perdagangan. Dari beberapa kombinasi alasan
ekonomi, sosial dan politik, mereka tidak mempelajari bahasa yang digunakan
oleh masing-masing kelompok, melainkan hanya mengembangkan pidgin dengan
kosakata yang secara khusus digambarkan (meskipun tidak selalu) dari salah satu
bahasa yang mengalami kontak. Tata bahasa pidgin
tidak berasal dari salah satu bahasa manapun, melainkan merupakan sejenis
kompromi persilangan tata bahasa dari bahasa-bahasa yang terkontak, dengan
lebih atau sedikit terpengaruh oleh pembelajaran bahasa kedua universal; secara
khusus kemudahan belajar membantu menentukan struktur kebahasaan pidgin.
Pandangan-pandangan
mengenai pidgin di atas membawa beberapa implikasi, yaitu bahwa pidgin tidak memiliki penutur asli:
pidgin selalu digunakan sebagai bahasa kedua (atau ketiga, atau keempat,
atau...) dan secara khusus digunakan untuk tujuan terbatas bagi komunikasi
antarkelompok. Implikasi yang kedua, yaitu bahwa pidgin mempunyai lebih sedikit bahan atau materi linguistik
dibandingkan bahasa nonpidgin– lebih sedikit kata, serta tata bahasa dan sumber
gaya dalam sintak dan wacana yang terbatas.Contoh pidginisasi terjadi pada
kontak bahasa antara bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris di kawasan pariwisata
Bali.
Selanjutnya creol, sangat kontras dengan pidgin,
dimana creol mempunyai penutur asli
dalam komunitas ujaran. Seperti pidgin, creol
berkembang dalam kontak situasi yang didalamnya melibatkan lebih dari dua
bahasa. Creol secara khusus
menggambarkan leksikonnya, namun tidak tata bahasanya. Grammar creol sama seperti pidgin yang berasal
dari persilangan bahasa yang dikompromikan oleh kreator, seseorang yang mungkin
atau tidak mungkin memasukkan penutur asli dari bahasa lexfier. Pada kenyataan beberapa bahasa creol merupakan penutur asli pidgin.
Diglosia ?
Charles
Ferguson (1959) (diglossie; dalam
bahasa perancis, menginspirasi pembuatan uang logam Ferguson). Artikel
Ferguson dianggap sebagai referensi
klasik diglosia. Diglosia merupakan istilah yang digunakan untuk mengklasifikasikan situasi komunikasi dalam
masyarakat yang membuat penggunaan pelengkap pada pertukaran sehari-hari dari
dua kode yang berbeda, baik dua variasi bahasa yang berbeda ataupun dua
bahasa. Situasi tertentu mengisyaratkan penggunaan salah satu kode, bahasa A
pada pelarangan bahasa yang lain, bahasa B, yang mana hanya dapat digunakan
dalam situasi dimana bahasa pertama dilarang. Namun demikian, definisi ini
meliputi banyak variasi, situasi diglosia dalam sebuah mayoritas masyarakat,
contohnya di Inggris Raya, ada sebuah perbedaan antara bahasa Inggris yang
digunakan antara teman atau ketika berbelanja dan yang digunakan di universitas
atau konferensi-konferensi publik.
Perlu
ditekankan bahwa penggunaan yang lebih disukai dari istilah ini mengacu pada
masyarakat dimana perbedaannya ditandai secara khusus dan sering di sokong
dalam penggunaan variasinya (contohnya, bahasa standar/ patois,
Katharevusa/Demotic di Yunani dan Prancis/ kreol di mayoritas area pembicaraan
kreol Prancis). Umumnya, situasi diglosia ini merupakan situasi konflik bahasa
dimana satu dari bahasa tersebut diistilahkan dengan variasi/ragam ‘tinggi’ dan yang lain yang dianggap ‘rendah’. Istilah pertama digunakan
dalam situasi komunikasi yang dianggap
‘ningrat’ (menulis, penggunaan formal dan sebagainya) dan istilah berikutnya
digunakan dalam keadaan yang lebih informal (percakapan dengan keluarga,
sahabat yang sudah sangat dekat).
Penggunaan ragam tinggi
dapat ditemukan pada acara-acara seperti pidato kepresidenan, khotbah, kuliah,
atau ceramah. Selain itu ragam tinggi juga bisa ditemukan dari beberapa media
seperti televisi, radio, koran majalah dan lain-lain dalam pembicaraan formal. Acara-acara yang dimaksud contohnya dapat
disaksiakan atau ditemukan langsung pada saat siaran berita atau debat ilmiah,
tajuk rencana dan artikel di surat kabar. Faktor-faktor yang mempengaruhi
situasi diglosia menurut Sumarsono (2004: 199) antara lain partisipan, suasana, dan topik.
Pemertahanan
dan Kepunahan Bahasa
Pergeseran
bahasa berkaitan
dengan fenomena sosiolinguistik yang terjadi akibat
adanya kontak bahasa. Pergeseran
bahasa menyangkut masalah penggunaan bahasa oleh sekelompok penutur yang bisa
terjadi akibat perpindahan dari satu masyarakat tutur ke masyarakat tutur lain.
Apabila seseorang atau sekelompok penutur pindah ke tempat lain yang
menggunakan bahasa lain, dan berinteraksi dengan masyarakat tutur di wilayah
tersebut, maka akan terjadilah pergeseran bahasa. Kelompok pendatang umumnya
harus menyesuaikan diri dengan menanggalkan bahasanya sendiri dan menggunakan
bahasa penduduk setempat. Dengan kata lain, para pendatang cenderung
menyesuaikan diri dengan bahasa interlokutor. Proses pergeseran bahasa ini bisa
saja diawali oleh sejumlah kecil penutur dan baru dikatakan pergeseran penuh
ketika sejumlah kelompok atau guyub ikut serta melakukan penyesuain bahasa.
Pergeseran
bahasa biasanya terjadi di negara, daerah, atau wilayah yang memberi harapan
untuk kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik, sehingga mengundang imigran untuk mendatanginya. Misalnya, kota metropolitan Jakarta yang identik
dengan kota yang menjanjikan seseorang untuk mendapatkan kehidupan yang lebih
baik sehingga mendorong warga masyarakat dari berbagai daerah untuk datang
berbondong-bondong ke sana. Salah satu contoh, warga Maluku yang melakukan
migrasi ke Jakarta, secara perlahan karena adanya tuntutan situasi, kondisi,
dan kebutuhan maka mereka akan berpindah mempergunakan bahasa mereka ke bahasa
Indonesia.
Peristiwa pergeseran bahasa
setidaknya disebabkan oleh beberapa faktor, yakni dwibahasawan, migrasi, perkembangan ekonomi, adanya status bahasa yang
dianggap lebih tinggi oleh masyarakat sosial dan imperialisme atau penjajahan.
Dengan demikian, pergeseran bahasa terjadi pada
masyarakat dwibahasa atau multibahasa.
Faktor yang mendorong pergeseran
bahasa bisa saja berasal dari dalam diri individu yang memiliki rasa cinta akan
bahasa ibu sehingga menanamkannya kepada keluarga dan masyarakat dan dari rasa
persatuan serta kecintaan pada indentitas kelompok atau komunitas yang
dimiliki. Berikut ini beberpa contoh pemertahanan bahasa yang ada di dunia.
a. Pemertahananan bahasa Tiwa
Penelitian bahasa Tiwa dilakukan
oleh Ralp Fasold (1984), di Taos, New Mexico melalui kuesioner. Masyarakat Tiwa
adalah kelompok penghuni perkampungan Indian, jumlahnya sekitar 2000 orang,
sebagian besar masih menempati rumah nenek moyang mereka. Masyarakat Tiwa
merupakan masyarakat dwibahasa, kemudian bahasa Spanyol sebagai bahasa kedua
dan bahasa Inggris sebagai bahasa pertama. Selama beberapa abad masyarakat
Tiwa di bawah kekuasaan Mexico (yang
mayoritas berbahasa Spanyol) dan kemudian Amerika (yang berbahasa Inggris) dengan
jumlah yang sangat kecil. Hasil akhir dari penelitiannya ini adalah bahasa Tiwa
tetap bertahan di dalam komunitas masyarakat yang umumnya dwibahasa, bahasa
Tiwa sebagai B1 dan bahasa Inggris sebagai B2 (Sumarsono dan Partana, 2004:
257)
b. Pemertahanan bahasa Rongga
Penelitian ini dilakukan oleh I
Wayan Arka. Masyarakat Rongga tinggal di perbatasan trans- Flores. Secara
kekerabatan, bahasa Rongga termasuk keluarga besar Austronesia, sub-kelompok
Malayo-Polynesia Tengah, kemungkinan besar pada sub-kelompok Ngadha-Lio (Arka,
Artawa, Shibatani, and Wouk 2007). Bahasa dan budaya Rongga, seperti halnya
bahasa/budaya minoritas lainnya di Indonesia, semakin terpinggirkan. Tingkat
keterancampunahan Bahasa Rongga bisa dikategorikan bahasa yang bertahan namun
dengan jumlah penutur yang kurang. Dengan demikian, Faktor-faktor yang mempengaruhi pergeseran dan pemertahanan bahasa antara lain:
a.
kedwibahasaan atau
kemulitibahasaan
b.
industrialisasi
c.
imigrasi
d.
politik
e.
pendidikan
f.
mobilitas sosial
g.
efisiensi bahasa
h.
jumlah penutur
i.
konsentrasi pemukiman
Kepunahan Bahasa
Pakar
budaya dan bahasa Universitas Negeri Makasar (UNM), Prof. Dr. Zainuddin Taha,
mengatakan bahwa pada abad ini diperkirakan 50 persen dari 5.000 bahasa di
dunia terancam punah, atau setiap dua pekan hilang satu bahasa. Selanjutnya,
dikatakan olehnya bahwa Kepunahan tersebut bukan karena bahasa itu hilang atau
lenyap dari lingkungan peradaban, melainkan para penuturnya meninggalkannya dan
bergeser ke penggunaan bahasa lain yang dianggap lebih menguntungkan dari segi
ekonomi, sosial, politik atau psikologis. Di Indonesia sendiri, katanya,
keadaan pergeseran bahasa yang mengarah kepada kepunahan ini semakin nyata
dalam kehidupan sehari-hari terutama di kalangan keluarga yang tinggal di
perkotaan. Pergeseran ini tidak hanya dialami bahasa-bahasa daerah yang jumlah
penuturnya sudah sangat kurang (bahasa minoritas), tetapi juga pada bahasa yang
jumlah penuturnya tergolong besar (bahasa mayoritas) seperti bahasa Jawa, Bali,
Banjar, dan Lampung, termasuk bahasa-bahasa daerah di Sulawesi Selatan seperti
Bugis, Makassar, Toraja, dan Massenrempulu.
Bagaimanakah sebuah
bahasa dikatakan punah? Apakah ketika sebuah bahasa yang tidak dipakai lagi di
seluruh dunia disebut sebagai bahasa yang telah punah? Berkaitan dengan hal
ini, pendapat yang dikemukakan oleh Dorian ( di dalam Sumarsono dan Partana,
2002: 284) mengungkapkan jika kepunahan bahasa hanya dapat dipakai bagi
pergeseran total di dalam satu guyup atau komunitas saja dan pergeseran itu
terjadi dari satu bahasa ke bahasa yang lain, bukan dari ragam bahasa yang satu
ke ragam bahasa yang lain dalam satu bahasa. Artinya, bahasa yang punah tidak
tahan terhadap persaingan bahasa yang lain bukan karena persaingan prestise
antarragam bahasa dalam satu bahasa. Berdasarkan penjelasan Dorian ini, dapat
disimpulkan bahwa kepunahan bermakna terjadinya pergeseran total dari satu
bahasa ke bahasa yang lain dalam satu guyup atau kominitas tutur. Akan tetapi,
pada akhirnya para ahli bahasa ini menyimpulkan jika kepunahan bahasa ini bisa
mencakup pengertian yang luas dan terbatas.
Selanjutnya, Kloss (Sumarsono
dan Partana, 2002: 286) menyebutkan bahwa ada tiga tipe utama kepunahan bahasa, yaitu (1) kepunahan bahasa tanpa
terjadinya pergeseran bahasa; (2) kepunahan bahasa karena pergeseran bahasa
(guyub tutur tidak berada dalam wilayah tutur yang kompak atau bahasa itu
menyerah pada pertentangan intrinsik prasarana budaya modern yang berdasarkan
teknologi; dan (3) kepunahan bahasa nominal melalui metamorfosis (misalnya
suatu bahasa tutur derajatnya menjadi dialek ketika masyarakat tidak lagi
menulis dalam bahasa itu dan mulai memakai bahasa lain. Salah satu contoh
bahasa yang mengalami kepunahan karena pergeseran (terjadi pada abad ke-19)
yakni bahasa Gaeltacht di Irlandia. Masyarakat Irlandia lebih memilih untuk
meninggalkan bahasanya dan menggantinya dengan bahasa Inggris. Menurut beberapa
ahli, faktor-faktor yang menyebabkan kepunahan bahasa Gesltacht tersebut antara
lain:
a. rapuhnya
upaya untuk melindungi dan mempertahankan Gaeltacht
b. tidak
mempunyai guyub tutur yang terpusat di perkotaan
c. terjadinya
modernisasi
d. adanya
kehendak aktif dari masyrakat untuk bergeser
e. tidak
cukupnya konsentrasi masyarakat untuk menghadapi lingkungan yang kuat secara
ekonomi dan canggih teknologinya
f. tidak
adanya pengalihan (tansmisi) bahasa asli dari orang tua kepada anak-anaknya
g. tidak
adanya optimisme akan masa depan bahasa.
Kasus punahnya bahasa
Irlandia bisa saja dialami oleh bahasa Indonesia apabila masyarakat dan
pemerintah tidak bersikap tegas dan selektif terhadap berbagai budaya (bahasa)
yang masuk ke Indonesia. Menurut Halim (melalui Muslih, 2010: 20) setelah
bahasa Indonesia dikukuhkan sebagai bahasa persatuan, situasi kebahasaan
ditandai oleh dua tantangan. Tantangan pertama, yakni perkembangan bahasa
Indonesia yang dinamis, tetapi tidak menimbulkan pertentangan di antara
masyarakat. Pada saat bersamaan bangsa Indonesia mengalami kedewasaan
berbahasa. Sekarang tumbuh kesadaran emosional bahwa perilaku berbahasa tidak
terkait dengan masalah nasionalisme. Buktinya banyak orang yang lebih suka memakai
bahasa asing. Tantangan kedua, yakni persoalan tata istilah dan ungkapan
ilmiah. Tantangan kedua ini yang menimbulkan prasangka yang tetap dihadapi
ilmuan kita yang mengatakan bahawa bahasa Indonesia miskin, bahkan kita dituduh
belum mampu menyediakan sepenuhnya padanan istilah yang terdapat banyak dalam
disiplin ilmu, teknologi dan seni. Menurut Moeliono prasangka itu bertumpu pada
apa yang dikenal dan atau diketahui, tidak ada dalam bahasa Indonesia.
Beberapa kebiasaan yang
mendorong pergeseran bahasa Indonesia yang ditemukan di dalam masyarakat harus
segera dicegah dan dihilangkan untuk tetap mempertahankan identitas bangsa.
Kebiasaan-kebiasaan tersebut antara lain:
a. banyak
orang indonesia lebih suka menggunakan kata-kata, istilah-istilah, ungkapan-ungkapan
asing padahal kata-kata, istilah-istilah dan ungkapan itu sudah memiliki
padanan dalam bahasa Indonesia, bahkan sudah umum dipakai. Misalnya , page, background, reality, alternatif,
airport, masing-masing untuk halaman, latar belakang, kenyataan, kemungkinan
pilihan dan lapangan terbang atau bandara.
b. banyak
orang Indonesia menghargai bahasa asing secara berlebihan sehingga ditemukan
kata dan istilah asing yang amat asing, atau hiper asing. Hal ini karena salah
pengertian dalam menerapkan kata-kata asing tersebut, misalnya, rokh, insyaf, fihak, fatsal,syarat, syah,
dll.
c. banyak
orang Indonesia belajar dan menguasai bahasa asing dengan baik tetapi menguasai
bahasa Indonesia apa adanya. Terkait dengan itu, banyak orang Indonesia yang
mempunyai bermacam-macam kamus bahasa asing tetapi tidak memiliki satupun kamus
bahasa Indonesia. Keadaan ini mengakibatkan sering terjadinya kesalahan
penggunaan istilah seperti, yang mana yang kurang tepat, pencampuradukan penggunaan
kata tidak dan bukan, pemakaian kata ganti saya, kami, kita yang tidak jelas.
Upaya-upaya yang bisa
dilakukan untuk mencegah sekaligus menangani keterancampunahan bahasa-bahasa daerah
yang ada di Indonesia antara lain:
1. vitalisasi etnolinguistik
2.
menggiatkan penerbitan majalah berbahasa daerah bagi media cetak dan
menyediakan program khusus berbahasa daerah
3.
memasukkan sebagian kosakata bahasa
daerah ke dalam bahasa nasional
4.
menjadikan bahasa daerah sebagai mata
pelajaran wajib di berbagai jenjang pendidikan
5.
membentuk jurusan atau jika memungkinkan
fakultas di perguruan tinggi yang khusus membidangi bahasa daerah.
Penutup
Seiring dengan perkembangan kehidupan sosial manusia maka
bahasa juga akan mengalami perkembangan. Mulai dari bagaimana bahasa itu
diintegrasikan atau dimasukkan ke dalam bahasa tertentu dari masyarakat tutur
yang mengalami kontak bahasa sampai pada
bagaimana perkembangan bahasa resipien. Dampak yang dirasakan oleh bahasa yang
menjadi objek atau sarana tutur masyarakat ini sangat ditentukan oleh sikap
masyarakat tutur itu sendiri. Bahasa yang tetap dipergunakan dan dilestarikan
oleh masyarakat tuturnya tentunya akan tetap bertahan atau mengalami pemertahanan
dan hal yang sebaliknya akan terjadi pada bahasa yang tidak mendapatkan
perhatian dan usaha pemertahanan dari masyarakat tuturnya akan mengalami
kepunahan.
Daftar Pustaka
Abdul
Chaer dan Leoni Agustina. (2010). Sosiolinguistik
(perkenalan awal). Jakarta: PT Rineka Cipta
Fasold,
Ralph.The Sociolinguistics of Language.1990.Blackwell:
USA
Harimurti
Kridalaksana. (2008). Kamus linguistik
edisi keempat. Jakarta: PT Garamedia Pustaka Utama
Hasan
Alwi, et al. (2003). Tata bahasa baku
bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka
Masnur
Muslih. (2010). Tata bentuk bahasa
Indonesia (kajian ke arahtatabahasa
deskriptif). Jakarta: Bumi Aksara
Paulston,
Christina B dan Tucker Richard G. Sociolinguistics,
The Essential Reading. 2003: Blackwell Publishing:UK
Sumarsono
dan Paina Partana. (2004). Sosiolinguitik.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Term of Adress
Term of Adress
oleh Diana mayasari_12706251068
oleh Diana mayasari_12706251068
Pendahuluan
Pada waktu saya ke
kantim kampus beberapa hari yang lalu, saya di sapa dengan kata Nok. Kemudian ketika sapaan itu
terlontar saya hanya berpikir, apakah ada yang salah dengan penampilan saya?
Atau mungkin saya tidak sopan dalam bersikap? Seketika itu saya hanya diam dan
mengiyakan sapaan itu. Setelah keluar dari kantin saya bertanya dengan teman
saya yang berdomisili di Yogyakarta dan menanyakan makna kata Nok dalam sapaan terjadi. Sungguh saya
kaget, ternyata Nok disini berbeda dengan Nok yang saya ketahui. Nok di
Yogyakarta ditujukan sebagai sapaan yang pada orang yang lebih muda dengan rasa
sayang. Hal ini berbeda dengan panggilan Nok yang ada di jawa timur. Khususnya
pare. Kata nok memiliki arti cewek yang seksi dan denok-denok, bohai, serta
pakaiannya ketat dan tubuh yang montok. Pada pembahasan kali ini kita akan
membahasa mengenai Terms of addres
(sapaan) dan honorifik. Kata sapaan bukanlah hal baru dalam bidang
sosiolinguistik. Kridalaksana
(1982 : 14)
menjelaskan bahwa kata
sapaan merujuk pada kata atau ungkapan yang dipakai untuk memanggil para pelaku
dalam suatu peristiwa bahasa. Adapun
pelaku yang dimaksud merujuk pada pembicara, lawan biara, serta orang yang
sedang dibicarakan. Berdasarkan definisi tersebut terdapat dua unsur penting dalam sistem tutur sapa,
yakni kata atau ungkapan dan para pelaku dalam suatu peristiwa bahasa.
Kata atau ungkapan yang
digunakan dalam sistem tutur sapa disebut kata sapaan yang
berfungsi untuk memperjelas
kepada siapa pembicaraan itu ditujukan.
Kata
Sapaan Dalam Beberapa Bahasa
1.
Kata
Sapaan dalam Bahasa Indonesia
Kridalaksana telah menggolongkan kata sapaan dalam bahasa Indonesia
menjadi Sembilan jenis, yakni sebagai berikut: (1) kata ganti, seperti aku,
kamu, dan ia; (2)
nama diri, seperti Dealova dan Christina, (3) istilah kekerabatan, kakek, nenek, ayah
dan ibu,(4) gelar dan pangkat, seperti dosen dan hakim, (5)
bentuk pe + Verbal atau kata pelaku,
seperti peronda dan petinju; (6)
bentuk Nominal + ku seperti adikku (7)
kata deiksis atau penunjuk, seperti sini dan situ; (8) kata benda lain, seperti tuan dan nyonya, serta (9) ciri zero atau nol, yakni adanya suatu
makna tanpa disertai bentuk kata tersebut.
Dalam bahasa Indonesia, kata sapaan yang digunakan pembicara menyapa lawan
bicaranya cukup bervariasi. Meskipun demikian, jenis kata sapaan yang tampaknya paling banyak digunakan adalah istilah kekerabatan (Kridalaksana,
1982:193).
Pemilihan suatu bentuk kata
sapaan dipengaruhi oleh dua faktor, yakni status
dan fungsi.
Status merupakan
posisi sosial lawan bicara terhadap pembicara
sedangkan
status diartikan sebagai usia. Adapun fungsi yang dimaksud di
atas adalah jenis kegiatan atau jabatan lawan bicara dalam suatu peristiwa
bahasa atau pembicaraan. Berikut tabel status dan fungsi yang mempengaruhi kata
sapaan terhadap lawan bicara dalam bahasa Indonesia.
Tabel 1. Status
dan Fungsi yang Mempengaruhi Kata Sapaan dalam bahasa Indonesia
2.
Kata
Sapaan dalam Bahasa- bahasa di
Eropa
Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap pengguna bahasa-bahasa
Eropa, seperti bahasa Prancis, bahasa Jerman, bahasa Italia, dan bahasa
Spanyol, Fasold (Anisa Rahmania, 2009: 5) menjelaskan bahwa Brown dan Gilman menemukan bahwa pemilihan kata ganti
orang kedua yang digunakan pembicara kepada lawan bicaranya dipengaruhi oleh
dua faktor, yakni kekuasaan (power) dan
solidaritas (solidarity).
Adanya kekuasaan serta solidaritas di antara pembicara dan lawan bicara
memunculkan dua bentuk kata ganti orang kedua.
Dua bentuk kata ganti orang
kedua tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, Vos, selanjutnya disebut V, digunakan untuk menyapa lawan bicara yang
kedudukannya dianggap lebih tinggi dibandingkan pembicara. Kedua, Tu, selanjutnya disebut T, digunakan untuk menyapa lawan bicara
yang kedudukannya dianggap lebih rendah dari pembicara.
Penggunaan V dan T oleh pembicara kepada lawan bicaranya dibagi ke dalam
dua pola, yakni pola resiprokal, terdiri atas resipirokal V dan resipirokal T,
yang menandakan hubungan horizontal dan pola nonresiprokal V-T yang menandakan
vertikal. Pada pola
resiprokal V, kedua pembicara menggunakan V untuk saling menyapa lawan
bicaranya. Demikian pula pada pola resiprokal T.
Kedua pembicara menggunakan T
untuk saling menyapa lawan bicaranya, sedangkan pada pola nonresiprokal, salah
seorang pembicara menggunakan V dan pembicara lainnya menggunakan T. Penggunaan
kedua pola tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2. Pola
Penggunaan V dan T oleh Pembicara
Penjelasan tabel di atas adalah sebagai berikut. Apabila pembicara dan lawan bicara keduanya
berkuasa, mereka akan saling menyapa dengan bentuk V. Apabila pembicara dan lawan bicara keduanya
tidak berkuasa, mereka akan saling menyapa dengan bentuk T. Apabila pembicara lebih berkuasa daripada lawan bicara,
pembicara akan menyapa lawan bicara dengan bentuk T dan disapa dengan bentuk
V. Demikian pula sebaliknya, apabila
pembicara tidak lebih berkuasa daripada lawan bicara, pembicara akan menyapa
lawan bicara dengan bentuk V dan disapa dengan bentuk T. Pembicara yang memiliki tingkat kekuasaan yang sama
dengan lawan bicara serta memiliki hubungan solidaritas akan saling menyapa
dengan bentuk T. Namun, apabila tidak
memiliki hubungan solidaritas, mereka akan saling menyapa dengan bentuk V.
Pada tabel di atas, faktor kekuasaan lebih diutamakan daripada
hubungan solidaritas dalam pemilihan kata ganti orang kedua.
Oleh sebab itu, Brown dan
Gilman juga membuat ilustrasi seperti yang terlihat pada tabel di
bawah ini di mana faktor
hubungan solidaritas juga mendapat peran dalam pemilihan kata ganti orang kedua.
Tabel 3. Faktor
Solidaritas dalam Pemilihan Kata Ganti Orang Kedua
Penjelasan tabel di atas adalah sebagai berikut.
Apabila pembicara lebih
berkuasa daripada lawan bicara, tetapi memiliki hubungan solidaritas, pembicara
menyapa lawan bicara dengan bentuk T dan dapat disapa dengan bentuk V dan T,
demikian pula sebaliknya.
Apabila pembicara lebih
berkuasa daripada lawan bicara dan tidak memiliki hubungan solidaritas,
pembicara dapat menyapa lawan bicara dengan bentuk V dan T, serta disapa dengan
bentuk V,
demikian pula sebaliknya.
Apabila memiliki tingkat
kekuasaan yang sama serta memiliki hubungan solidaritas, pembicara dan lawan
bicara akan saling menyapa dengan bentuk T.
Namun, apabila tidak memiliki hubungan solidaritas,
mereka akan saling menyapa dengan bentuk V. Dengan demikian terlihat bahwa hubungan solidaritas
juga memiliki peran dalam terpilihnya satu bentuk kata ganti.
3.
Kata
Sapaan dalam Bahasa Inggris Amerika
Ervin Tripp (melalui Rahmania, 2009: 7-10) melakukan penelitian terhadap kata sapaan yang
digunakan oleh penutur bahasa Inggris Amerika.
Kata sapaan yang digunakan
tersebut merujuk pada kata ganti orang kedua. Dari penelitiannya tersebut, ia
menemukan bahwa terdapat dua kaidah yang harus ada dalam penggunaan kata
sapaan, yakni kaidah alternasi dan
kaidah kookurensi.
Kaidah alternasi merupakan kaidah yang berkaitan dengan cara menyapa.
Kaidah ini berhubungan dengan digunakannya suatu bentuk kata sapaan berdasarkan
faktor-faktor yang mempengaruhinya. Adapun faktor-faktor tersebut adalah
sebagai berikut:
a.
Situasi
yang ditandai oleh status.
b.
Pangkat.
c.
Perangkat
identitas.
Adapun kaidah kookurensi
adalah kaidah kemunculan bersama bentuk sapaan dengan bentuk lain. Bentuk lain
tersebut berupa struktur bahasa yang tepat sesuai dengan kata sapaan yang
digunakan selama pembicaraan berlangsung. Misalnya, seorang pegawai yang sedang
berbicara dengan atasannya akan menggunakan bentuk sir. Dengan demikian, selama pembicaraan berlangsung, pegawai
tersebut akan menggunakan bahasa yang formal.
4.
Kata
Sapaan dalam Bahasa Tondano
Penelitian
tentang kata sapaan bahasa Tondano yang dibuat oleh Siska Rambitan (2010) menyatakan
bahwa pada
umumnya kata sapaan
bahasa Tondano tidak mengenal gender, seperti puyun (cucu)
dan panaken (keponakan). Untuk membedakan antara laki-laki dan perempuan
ditambahkan kata wewene dan tuama dibelakang kata tersebut, sebagai
contoh:
a.
Puyunku wewene maa’me waki
tetekelan.
Cucuku perempuan
menangis di tempat tidur.
b.
Teakan puyunku tuama umurou 2 tahun.
Hari ini cucuku
laki-laki berusia 2 tahun.
c.
Panakenku wewene masekola waki
wenang.
Keponakanku perempuan
sekolah di kota.
d.
Panakenku tuama tumiba rano waki
parigi.
Keponakanku
laki-laki menimba air di sumur.
Dalam bahasa Tondano terdapat pula kata sapaan yang
sama untuk gender yang berbeda, seperti kata kaawu atau ampit untuk
menyebut isteri atau suami, dan manuang untuk menyebut orang tua menantu
atau anak menantu. Untuk mengetahui apakah suami atau isteri yang dimaksud,
atau orang tua menantu atau anak menantu yang dimaksud, dapat diketahui melalui
konteks kalimat. Sebagai contoh:
a.
Kaawuku malutu’ rano waki awu.
Istriku/ suamiku
memasak air di dapur.
b.
Woodo manuangku tumeles labung waki
toko.
Esok
mertuaku/ menantuku membeli baju di toko.
Kata sapaan bahasa Tondano dibedakan pula atas garis
keturunan lineal, kolateral, dan afinal.
a.
Garis
Keturunan Lineal
Garis keturunan lineal adalah istilah kekerabatan
yang mengacu pada hubungan parakerabat yang berdasarkan satu garis keturunan
langsung atau secara garis lurus dari egomeliputikerabat yang berada di atas
maupun di bawah ego.
Kerabat
yang berada di atas ego disapa dengan sapaan:
papa, pa’ ayah
mama, ma’ ibu
tete’, te’ kakek
nene’, ne’ nenek
Kerabat
yang berada di bawah ego disapa dengan sapaan :
utu’, tu’ anak
laki-laki
keke’,ke’ anak
perempuan
puyun cucu
(perempuan/ laki-laki)
puyun karua cece
b.
Garis
Keturunan Kolateral
Garis keturunan kolateral adalah istilah kekerabatan
yang mengacu pada kerabat yang berasal dari nenek moyang yang sama tetapi bukan
dari satu garis keturunan langsung atau mengacu pada hubungan yang meliputi
suatu garis horizontal antara dua bersaudara pada satugaris keturunan dengan
ego. Istilah ini juga meliputi kerabat yang berada di atas ego dan dibawah ego,
serta kerabat yang berada sejajar dengan ego atau pada generasi nol.
Kerabat
di atas ego disapa dengan sapaan-sapaan:
mama oki’ bibi
(adik dari ayah atau ibu)
ma tua’ bibi
(kakak dari ayah atau ibu)
papa oki’ paman
(adik dari ayah atau ibu)
papa tua’ paman
(kakak dari ayah atau ibu)
Kerabat
di bawah ego disapanya dengan sapaan:
panaken wewene keponakan
laki-laki
panaken wewene keponakan
laki-laki
panaken tuama keponakan
perempuan
c.
Afinal
Istilah afinal yaitu kekerabatan yang menunjukkan
hubungan yang terjadi karena adanyatali perkawinan. Istilah kekerabatan ini
dibedakan berdasarkan jenis kelamin, tingkat generasi, dan garis keturunan.
1)
Jenis Kelamin
a)
Kerabat Wanita
Sapaan ego terhadap mereka adalah:
kaawu isteri
mama tua’, mama oki’ bibi
panaken wewene keponakan
perempuan
manuang wewene mertua
perempuan
manuang wewene menantu
perempuan
b)
Kerabat laki-laki
kaawu suami
papa tua’, papa oki’ paman
panaken tuama keponakan
laki-laki
manuang tuama menantu
laki-laki
manuang tuama mertua
laki-laki
2)
Generasi
Kekerabatan afinal menurut generasi terdiri dari:
a)
Generasi Nol
Generasi ini yakni para kerabat yang sejajar dengan
ego, yaitu suami, isteri dan saudaraipar. Sapaan ego terhadap mereka adalah:
kaawu suami
kaawu isteri
tuari ipar wewene adik
ipar perempuan
tuari ipar tuama adik
ipar laki-laki
pekaka’an ipar wewene kakak
ipar perempuan
pekaka’an ipar tuama kakak
ipar laki-laki
b)
Generasi satu tingkat di atas ego
Generasi ini yaitu para kerabat afinal yang berada
satu tingkat di atas ego yaitu
paman,
bibi, ayah, ibu, ibu mertua, atau ayah mertua. Sapaan ego terhadap mereka
ialah:
papa’, pa’ ayah
mama’, ma’ ibu
papa oki’, papa tua’ paman
mama oki’, ma tua’ bibi
manuang wewene/manuang
tuama ibu mertua/ayah mertua
c)
Generasi satu tingkat di bawah ego
Generasi yang berada satu tingkat di bawah ego dalam
kerabat afinal yaitu para keponakan ego atau anak dari saudara laki-laki atau
perempuan ego. Sapaan ego terhadap mereka adalah:
panaken wewene keponakan
perempuan
panaken tuama keponakan
laki-laki
Contoh: panakenku
wewene kimanou durian
Keponakanku makan
durian
panakenku tuama
ma’ayang rano waki tambu’ sela
Keponakanku laki-laki
bermain air di kolam ikan besar
d) Generasi
dua tingkat di bawah ego
Kerabat afinal yang berada dua tingkat di bawah ego
yaitu cucu kemenakaan ego atau anak dari anak perempuan atau laki-laki dari
saudara laki-laki atau perempuan ego. Sapaan ego terhadap mereka ialah:
puyun wewene cucu
perempuan
puyun tuama cucu
laki-laki.
DAFTAR PUSTAKA
Kridalaksana, Harimurti. 1982. Dinamika
Tutur Sapa dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Bhratara.
Kridalaksana,
Harimurti. 2008. Kamus Linguistik (ed. ke-4).
Jakarta: Gramedia.
Rahmania, A. 2009. Kata
Sapaan. Jakarta:
Universitas Indonesia.
Rambitan, S.
2010. Bentuk Sapaan Bahasa Tondano. Manado: Universitas Sam Ratulangi Manado.
Langganan:
Postingan (Atom)