Rabu, 19 Juni 2013

Pemertahanan dan Kepunahan Bahasa



Pemertahanan dan Kepunahan Bahasa
Integrasi, Pidgin, Kreol, Diglosia,  
Oleh Diana Mayasari_12706251068

Integrasi
Mackey mendefinisikan integrasi sebagai unsur-unsur lain yang digunakan dalam bahasa tertentu dan dianggap sudah menjadi warga bahasa tersebut (tidak dianggap lagi sebagai unsur pinjaman atau pungutan). Pengintegrasian bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia bisa melalui proses penerimaan ataupun proses penyerapan. Penerimaan unsur bahasa lain dalam bahasa tertentu membutuhkan waktu dan tahap yang cukup lama. Proses integrasi ini biasanya diawali ketika suatu bahasa tidak memiliki padanan kata yang ada di dalam bahasa lain tersebut atau bisa saja ada padanannya namun tidak diketahui. Keadaan itu akan berdampak pada proses peminjaman bahasa dari bahasa lain/bahasa asing. Apabila unsur pinjaman tersebut sudah bersifat umum atau bisa diterima, dan dipergunakan oleh sebagian besar masyarakat maka barulah bahasa tersebut bisa dikatakan sudah terintegrasi dengan bahasa yang dimasukinya (Chaer dan Agustina, 2010:128) .
Proses pengintegrasian bahasa biasanya mengalami tahapan penyesuaian dengan bahasa yang dimasukinya. Bentuk penyesuaiannya dapat berupa perubahan fonem yang nantinya juga mengakibatkan perubahan bunyi sesuai dengan bunyi-bunyi atau jenis kata yang ada dan biasa diucapkan di dalam bahasa yang dimasukinya. Untuk bahasa Indonesia, bahasa asing yang integrasikan biasanya disesuaikan ejannya dengan Pedoman Umum Pembentukan Istilah dan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang disempurnakan, contohnya kata research dalam bahasa Inggris yang diintegrasikan ke dalam bahasa Indonesia dan diubah menjadi kata riset. Untuk mengetahui apakah bahasa asing telah terintegrasi ke dalam bahasa Indonesia umumnya bisa diukur dari keadaan bahasa atau kata tersebut apakah sudah tercantum atau belum di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Proses penerimaan unsur bahasa asing, khususnya unsur kosakata dalam bahasa Indonesia lebih banyak terjadi melalui proses mendengar atau audial. Apa yang didengar maka itulah yang akan diujarkan atau dituliskan sehingga seringkali menimbulkan ketidakteraturan. Contohnya kata horloge menjadi arloji, dan kata appel menjadi apel, dan lain sebagainya. Akan tetapi, jika dilihat dari konteks penyerapan bahasa maka proses pengintegrasian bahasa menurut Abdul Chaer dan Leoni Agustina (2010: 129) bisa melalui dua proses, yakni:
1.                  penerjemahan langsung, maksudnya kosakata tersebut dicarikan padanannya dalam bahasa Indonesia. Misalnya airport menjadi bandar udara, joint venture menjadi usaha patungan, balance budget menjadi anggaran berimbang, dan lain sebagainya.
2.                  penerjemahan konsep, maksudnya konsep bahasa asing tersebut diteliti dengan seksama kemudian dicarikan padanan konsepnya yang paling dekat dalam bahasa Indonesia. Misalnya, begroting post menjadi mata anggaran, network menjadi jaringan, brother in law menjadi ipar laki-laki, dan lain sebagainya.

Salah satu contoh dampak positif dan negatifnya khususnya bagi bahasa Indonesia adalah pengintegrasian bahasa bisa memperkaya khazanah kosakata bahasa Indonesia namun bisa juga menimbulkan ketimpangan dari bahasa yang diserap. Misalnya mengakibatkan konsonan /k/, /p/, /s/, /t/ yang seharusnya luluh menjadi tidak dilluluhkan dengan alasan untuk mempermudah mengenali bentuk asli atau bentuk dasarnya seperti program, proklamasi, prakarsa, teraktir, transfer, transkripsi, sponsor, standar dan lain sebagainya. Beberapa contoh konkritnya bisa dilihat pada kata memprogramkan yang seharusnya memrogramkan, pemprograman seharusnya pemrograman, mentraktir seharusnya menraktir, dan pemproklamsikan seharusnya pemroklamasikan.
o   Apa itu pidgin dan kreol ?
Thomason (2001:159), menyatakan bahwa pidgin secara tradisional adalah bahasa yang muncul dalam kontak situasi baru yang melibatkan lebih dari dua kelompok kebahasaan. Kelompok-kelompok ini tidak memiliki satupun bahasa yang diketahui secara luas diantara kelompok-kelompok yang saling terkontak. Mereka perlu berkomunikasi secara teratur, namun untuk tujuan yang terbatas, misalnya perdagangan. Dari beberapa kombinasi alasan ekonomi, sosial dan politik, mereka tidak mempelajari bahasa yang digunakan oleh masing-masing kelompok, melainkan hanya mengembangkan pidgin dengan kosakata yang secara khusus digambarkan (meskipun tidak selalu) dari salah satu bahasa yang mengalami kontak. Tata bahasa pidgin tidak berasal dari salah satu bahasa manapun, melainkan merupakan sejenis kompromi persilangan tata bahasa dari bahasa-bahasa yang terkontak, dengan lebih atau sedikit terpengaruh oleh pembelajaran bahasa kedua universal; secara khusus kemudahan belajar membantu menentukan struktur kebahasaan pidgin.
Pandangan-pandangan mengenai pidgin di atas membawa beberapa implikasi, yaitu bahwa pidgin tidak memiliki penutur asli: pidgin selalu digunakan sebagai bahasa kedua (atau ketiga, atau keempat, atau...) dan secara khusus digunakan untuk tujuan terbatas bagi komunikasi antarkelompok. Implikasi yang kedua, yaitu bahwa pidgin mempunyai lebih sedikit bahan atau materi linguistik dibandingkan bahasa nonpidgin– lebih sedikit kata, serta tata bahasa dan sumber gaya dalam sintak dan wacana yang terbatas.Contoh pidginisasi terjadi pada kontak bahasa antara bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris di kawasan pariwisata  Bali.
Selanjutnya creol, sangat kontras dengan pidgin, dimana creol mempunyai penutur asli dalam komunitas ujaran. Seperti pidgin, creol berkembang dalam kontak situasi yang didalamnya melibatkan lebih dari dua bahasa. Creol secara khusus menggambarkan leksikonnya, namun tidak tata bahasanya. Grammar creol sama seperti pidgin yang berasal dari persilangan bahasa yang dikompromikan oleh kreator, seseorang yang mungkin atau tidak mungkin memasukkan penutur asli dari bahasa lexfier. Pada kenyataan beberapa bahasa creol merupakan penutur asli pidgin.
Diglosia  ?
            Charles Ferguson (1959) (diglossie; dalam bahasa perancis, menginspirasi  pembuatan uang logam Ferguson). Artikel Ferguson dianggap sebagai  referensi klasik diglosia. Diglosia merupakan istilah yang digunakan untuk mengklasifikasikan situasi komunikasi dalam masyarakat yang membuat penggunaan pelengkap pada pertukaran sehari-hari dari dua kode yang berbeda, baik dua variasi bahasa yang berbeda ataupun dua bahasa. Situasi tertentu mengisyaratkan penggunaan salah satu kode, bahasa A pada pelarangan bahasa yang lain, bahasa B, yang mana hanya dapat digunakan dalam situasi dimana bahasa pertama dilarang. Namun demikian, definisi ini meliputi banyak variasi, situasi diglosia dalam sebuah mayoritas masyarakat, contohnya di Inggris Raya, ada sebuah perbedaan antara bahasa Inggris yang digunakan antara teman atau ketika berbelanja dan yang digunakan di universitas atau konferensi-konferensi publik.
Perlu ditekankan bahwa penggunaan yang lebih disukai dari istilah ini mengacu pada masyarakat dimana perbedaannya ditandai secara khusus dan sering di sokong dalam penggunaan variasinya (contohnya, bahasa standar/ patois, Katharevusa/Demotic di Yunani dan Prancis/ kreol di mayoritas area pembicaraan kreol Prancis). Umumnya, situasi diglosia ini merupakan situasi konflik bahasa dimana satu dari bahasa tersebut diistilahkan dengan variasi/ragam ‘tinggi’ dan yang lain yang dianggap ‘rendah’. Istilah pertama digunakan dalam situasi komunikasi  yang dianggap ‘ningrat’ (menulis, penggunaan formal dan sebagainya) dan istilah berikutnya digunakan dalam keadaan yang lebih informal (percakapan dengan keluarga, sahabat yang sudah sangat dekat).
Penggunaan ragam tinggi dapat ditemukan pada acara-acara seperti pidato kepresidenan, khotbah, kuliah, atau ceramah. Selain itu ragam tinggi juga bisa ditemukan dari beberapa media seperti televisi, radio, koran majalah dan lain-lain dalam pembicaraan formal. Acara-acara yang dimaksud contohnya dapat disaksiakan atau ditemukan langsung pada saat siaran berita atau debat ilmiah, tajuk rencana dan artikel di surat kabar. Faktor-faktor yang mempengaruhi situasi diglosia menurut Sumarsono (2004: 199) antara lain partisipan, suasana, dan topik.
Pemertahanan dan Kepunahan Bahasa
Pergeseran bahasa berkaitan dengan fenomena sosiolinguistik yang terjadi akibat adanya kontak bahasa. Pergeseran bahasa menyangkut masalah penggunaan bahasa oleh sekelompok penutur yang bisa terjadi akibat perpindahan dari satu masyarakat tutur ke masyarakat tutur lain. Apabila seseorang atau sekelompok penutur pindah ke tempat lain yang menggunakan bahasa lain, dan berinteraksi dengan masyarakat tutur di wilayah tersebut, maka akan terjadilah pergeseran bahasa. Kelompok pendatang umumnya harus menyesuaikan diri dengan menanggalkan bahasanya sendiri dan menggunakan bahasa penduduk setempat. Dengan kata lain, para pendatang cenderung menyesuaikan diri dengan bahasa interlokutor. Proses pergeseran bahasa ini bisa saja diawali oleh sejumlah kecil penutur dan baru dikatakan pergeseran penuh ketika sejumlah kelompok atau guyub ikut serta melakukan penyesuain bahasa.
Pergeseran bahasa biasanya terjadi di negara, daerah, atau wilayah yang memberi harapan untuk kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik, sehingga mengundang imigran untuk mendatanginya. Misalnya, kota metropolitan Jakarta yang identik dengan kota yang menjanjikan seseorang untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik sehingga mendorong warga masyarakat dari berbagai daerah untuk datang berbondong-bondong ke sana. Salah satu contoh, warga Maluku yang melakukan migrasi ke Jakarta, secara perlahan karena adanya tuntutan situasi, kondisi, dan kebutuhan maka mereka akan berpindah mempergunakan bahasa mereka ke bahasa Indonesia.
Peristiwa pergeseran bahasa setidaknya disebabkan oleh beberapa faktor, yakni dwibahasawan, migrasi, perkembangan ekonomi, adanya status bahasa yang dianggap lebih tinggi oleh masyarakat sosial dan imperialisme atau penjajahan. Dengan demikian, pergeseran bahasa terjadi pada masyarakat dwibahasa atau multibahasa.
Faktor yang mendorong pergeseran bahasa bisa saja berasal dari dalam diri individu yang memiliki rasa cinta akan bahasa ibu sehingga menanamkannya kepada keluarga dan masyarakat dan dari rasa persatuan serta kecintaan pada indentitas kelompok atau komunitas yang dimiliki. Berikut ini beberpa contoh pemertahanan bahasa yang ada di dunia.

a.      Pemertahananan bahasa Tiwa
Penelitian bahasa Tiwa dilakukan oleh Ralp Fasold (1984), di Taos, New Mexico melalui kuesioner. Masyarakat Tiwa adalah kelompok penghuni perkampungan Indian, jumlahnya sekitar 2000 orang, sebagian besar masih menempati rumah nenek moyang mereka. Masyarakat Tiwa merupakan masyarakat dwibahasa, kemudian bahasa Spanyol sebagai bahasa kedua dan bahasa Inggris sebagai bahasa pertama. Selama beberapa abad masyarakat Tiwa  di bawah kekuasaan Mexico (yang mayoritas berbahasa Spanyol) dan kemudian Amerika (yang berbahasa Inggris) dengan jumlah yang sangat kecil. Hasil akhir dari penelitiannya ini adalah bahasa Tiwa tetap bertahan di dalam komunitas masyarakat yang umumnya dwibahasa, bahasa Tiwa sebagai B1 dan bahasa Inggris sebagai B2 (Sumarsono dan Partana, 2004: 257)
b.      Pemertahanan bahasa Rongga
Penelitian ini dilakukan oleh I Wayan Arka. Masyarakat Rongga tinggal di perbatasan trans- Flores. Secara kekerabatan, bahasa Rongga termasuk keluarga besar Austronesia, sub-kelompok Malayo-Polynesia Tengah, kemungkinan besar pada sub-kelompok Ngadha-Lio (Arka, Artawa, Shibatani, and Wouk 2007). Bahasa dan budaya Rongga, seperti halnya bahasa/budaya minoritas lainnya di Indonesia, semakin terpinggirkan. Tingkat keterancampunahan Bahasa Rongga bisa dikategorikan bahasa yang bertahan namun dengan jumlah penutur yang kurang. Dengan demikian, Faktor-faktor yang mempengaruhi pergeseran dan pemertahanan bahasa antara lain:
a.       kedwibahasaan atau kemulitibahasaan
b.      industrialisasi
c.       imigrasi
d.      politik
e.       pendidikan
f.       mobilitas sosial
g.      efisiensi bahasa
h.      jumlah penutur
i.        konsentrasi pemukiman

 Kepunahan Bahasa
Pakar budaya dan bahasa Universitas Negeri Makasar (UNM), Prof. Dr. Zainuddin Taha, mengatakan bahwa pada abad ini diperkirakan 50 persen dari 5.000 bahasa di dunia terancam punah, atau setiap dua pekan hilang satu bahasa. Selanjutnya, dikatakan olehnya bahwa Kepunahan tersebut bukan karena bahasa itu hilang atau lenyap dari lingkungan peradaban, melainkan para penuturnya meninggalkannya dan bergeser ke penggunaan bahasa lain yang dianggap lebih menguntungkan dari segi ekonomi, sosial, politik atau psikologis. Di Indonesia sendiri, katanya, keadaan pergeseran bahasa yang mengarah kepada kepunahan ini semakin nyata dalam kehidupan sehari-hari terutama di kalangan keluarga yang tinggal di perkotaan. Pergeseran ini tidak hanya dialami bahasa-bahasa daerah yang jumlah penuturnya sudah sangat kurang (bahasa minoritas), tetapi juga pada bahasa yang jumlah penuturnya tergolong besar (bahasa mayoritas) seperti bahasa Jawa, Bali, Banjar, dan Lampung, termasuk bahasa-bahasa daerah di Sulawesi Selatan seperti Bugis, Makassar, Toraja, dan Massenrempulu.
Bagaimanakah sebuah bahasa dikatakan punah? Apakah ketika sebuah bahasa yang tidak dipakai lagi di seluruh dunia disebut sebagai bahasa yang telah punah? Berkaitan dengan hal ini, pendapat yang dikemukakan oleh Dorian ( di dalam Sumarsono dan Partana, 2002: 284) mengungkapkan jika kepunahan bahasa hanya dapat dipakai bagi pergeseran total di dalam satu guyup atau komunitas saja dan pergeseran itu terjadi dari satu bahasa ke bahasa yang lain, bukan dari ragam bahasa yang satu ke ragam bahasa yang lain dalam satu bahasa. Artinya, bahasa yang punah tidak tahan terhadap persaingan bahasa yang lain bukan karena persaingan prestise antarragam bahasa dalam satu bahasa. Berdasarkan penjelasan Dorian ini, dapat disimpulkan bahwa kepunahan bermakna terjadinya pergeseran total dari satu bahasa ke bahasa yang lain dalam satu guyup atau kominitas tutur. Akan tetapi, pada akhirnya para ahli bahasa ini menyimpulkan jika kepunahan bahasa ini bisa mencakup pengertian yang luas dan terbatas.
Selanjutnya, Kloss (Sumarsono dan Partana, 2002: 286) menyebutkan bahwa ada tiga tipe utama kepunahan bahasa, yaitu (1) kepunahan bahasa tanpa terjadinya pergeseran bahasa; (2) kepunahan bahasa karena pergeseran bahasa (guyub tutur tidak berada dalam wilayah tutur yang kompak atau bahasa itu menyerah pada pertentangan intrinsik prasarana budaya modern yang berdasarkan teknologi; dan (3) kepunahan bahasa nominal melalui metamorfosis (misalnya suatu bahasa tutur derajatnya menjadi dialek ketika masyarakat tidak lagi menulis dalam bahasa itu dan mulai memakai bahasa lain. Salah satu contoh bahasa yang mengalami kepunahan karena pergeseran (terjadi pada abad ke-19) yakni bahasa Gaeltacht di Irlandia. Masyarakat Irlandia lebih memilih untuk meninggalkan bahasanya dan menggantinya dengan bahasa Inggris. Menurut beberapa ahli, faktor-faktor yang menyebabkan kepunahan bahasa Gesltacht tersebut antara lain:
a.       rapuhnya upaya untuk melindungi dan mempertahankan Gaeltacht
b.      tidak mempunyai guyub tutur yang terpusat di perkotaan
c.       terjadinya modernisasi
d.      adanya kehendak aktif dari masyrakat untuk bergeser
e.       tidak cukupnya konsentrasi masyarakat untuk menghadapi lingkungan yang kuat secara ekonomi dan canggih teknologinya
f.       tidak adanya pengalihan (tansmisi) bahasa asli dari orang tua kepada anak-anaknya
g.      tidak adanya optimisme akan masa depan bahasa.

Kasus punahnya bahasa Irlandia bisa saja dialami oleh bahasa Indonesia apabila masyarakat dan pemerintah tidak bersikap tegas dan selektif terhadap berbagai budaya (bahasa) yang masuk ke Indonesia. Menurut Halim (melalui Muslih, 2010: 20) setelah bahasa Indonesia dikukuhkan sebagai bahasa persatuan, situasi kebahasaan ditandai oleh dua tantangan. Tantangan pertama, yakni perkembangan bahasa Indonesia yang dinamis, tetapi tidak menimbulkan pertentangan di antara masyarakat. Pada saat bersamaan bangsa Indonesia mengalami kedewasaan berbahasa. Sekarang tumbuh kesadaran emosional bahwa perilaku berbahasa tidak terkait dengan masalah nasionalisme. Buktinya banyak orang yang lebih suka memakai bahasa asing. Tantangan kedua, yakni persoalan tata istilah dan ungkapan ilmiah. Tantangan kedua ini yang menimbulkan prasangka yang tetap dihadapi ilmuan kita yang mengatakan bahawa bahasa Indonesia miskin, bahkan kita dituduh belum mampu menyediakan sepenuhnya padanan istilah yang terdapat banyak dalam disiplin ilmu, teknologi dan seni. Menurut Moeliono prasangka itu bertumpu pada apa yang dikenal dan atau diketahui, tidak ada dalam bahasa Indonesia.
Beberapa kebiasaan yang mendorong pergeseran bahasa Indonesia yang ditemukan di dalam masyarakat harus segera dicegah dan dihilangkan untuk tetap mempertahankan identitas bangsa. Kebiasaan-kebiasaan tersebut antara lain:
a.       banyak orang indonesia lebih suka menggunakan kata-kata, istilah-istilah, ungkapan-ungkapan asing padahal kata-kata, istilah-istilah dan ungkapan itu sudah memiliki padanan dalam bahasa Indonesia, bahkan sudah umum dipakai. Misalnya , page, background, reality, alternatif, airport, masing-masing untuk halaman, latar belakang, kenyataan, kemungkinan pilihan dan lapangan terbang atau bandara.
b.      banyak orang Indonesia menghargai bahasa asing secara berlebihan sehingga ditemukan kata dan istilah asing yang amat asing, atau hiper asing. Hal ini karena salah pengertian dalam menerapkan kata-kata asing tersebut, misalnya, rokh, insyaf, fihak, fatsal,syarat, syah, dll.
c.       banyak orang Indonesia belajar dan menguasai bahasa asing dengan baik tetapi menguasai bahasa Indonesia apa adanya. Terkait dengan itu, banyak orang Indonesia yang mempunyai bermacam-macam kamus bahasa asing tetapi tidak memiliki satupun kamus bahasa Indonesia. Keadaan ini mengakibatkan sering terjadinya kesalahan penggunaan istilah seperti, yang mana  yang kurang tepat, pencampuradukan penggunaan kata tidak dan bukan, pemakaian kata ganti saya, kami, kita yang tidak jelas.
Upaya-upaya yang bisa dilakukan untuk mencegah sekaligus menangani keterancampunahan bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia antara lain:
1.  vitalisasi etnolinguistik
2. menggiatkan penerbitan majalah berbahasa daerah bagi media cetak dan menyediakan program khusus berbahasa daerah
3.    memasukkan sebagian kosakata bahasa daerah ke dalam bahasa nasional
4.    menjadikan bahasa daerah sebagai mata pelajaran wajib di berbagai jenjang pendidikan
5.    membentuk jurusan atau jika memungkinkan fakultas di perguruan tinggi yang khusus membidangi bahasa daerah.
Penutup         
Seiring dengan perkembangan kehidupan sosial manusia maka bahasa juga akan mengalami perkembangan. Mulai dari bagaimana bahasa itu diintegrasikan atau dimasukkan ke dalam bahasa tertentu dari masyarakat tutur yang  mengalami kontak bahasa sampai pada bagaimana perkembangan bahasa resipien. Dampak yang dirasakan oleh bahasa yang menjadi objek atau sarana tutur masyarakat ini sangat ditentukan oleh sikap masyarakat tutur itu sendiri. Bahasa yang tetap dipergunakan dan dilestarikan oleh masyarakat tuturnya tentunya akan tetap bertahan atau mengalami pemertahanan dan hal yang sebaliknya akan terjadi pada bahasa yang tidak mendapatkan perhatian dan usaha pemertahanan dari masyarakat tuturnya akan mengalami kepunahan.
Daftar Pustaka
Abdul Chaer dan Leoni Agustina. (2010). Sosiolinguistik (perkenalan awal). Jakarta: PT Rineka Cipta
Fasold, Ralph.The Sociolinguistics of Language.1990.Blackwell: USA
Harimurti Kridalaksana. (2008). Kamus linguistik edisi keempat. Jakarta: PT Garamedia Pustaka Utama
Hasan Alwi, et al. (2003). Tata bahasa baku bahasa Indonesia. Jakarta:                              Balai Pustaka
Masnur Muslih. (2010). Tata bentuk bahasa Indonesia (kajian ke                             arahtatabahasa deskriptif). Jakarta: Bumi Aksara
Paulston, Christina B dan Tucker Richard G. Sociolinguistics, The Essential Reading. 2003: Blackwell Publishing:UK
Sumarsono dan Paina Partana. (2004). Sosiolinguitik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar



Tidak ada komentar:

Posting Komentar