Pemertahanan dan Kepunahan Bahasa
Integrasi, Pidgin, Kreol, Diglosia,
Oleh Diana Mayasari_12706251068
Mackey mendefinisikan integrasi sebagai unsur-unsur lain yang digunakan
dalam bahasa tertentu dan dianggap sudah menjadi warga bahasa tersebut (tidak
dianggap lagi sebagai unsur pinjaman atau pungutan). Pengintegrasian bahasa
asing ke dalam bahasa Indonesia bisa melalui proses penerimaan ataupun proses
penyerapan. Penerimaan unsur bahasa
lain dalam bahasa tertentu membutuhkan waktu dan tahap yang cukup lama. Proses
integrasi ini biasanya diawali ketika suatu bahasa tidak memiliki padanan kata
yang ada di dalam bahasa lain tersebut atau bisa saja ada padanannya namun
tidak diketahui. Keadaan itu akan berdampak pada proses peminjaman bahasa dari
bahasa lain/bahasa asing. Apabila unsur pinjaman tersebut sudah bersifat umum
atau bisa diterima, dan dipergunakan oleh sebagian besar masyarakat maka
barulah bahasa tersebut bisa dikatakan sudah terintegrasi dengan bahasa yang
dimasukinya (Chaer dan Agustina, 2010:128) .
Proses pengintegrasian
bahasa biasanya mengalami tahapan penyesuaian dengan bahasa yang dimasukinya.
Bentuk penyesuaiannya dapat berupa perubahan fonem yang nantinya juga
mengakibatkan perubahan bunyi sesuai dengan bunyi-bunyi atau jenis kata yang
ada dan biasa diucapkan di dalam bahasa yang dimasukinya. Untuk bahasa
Indonesia, bahasa asing yang integrasikan biasanya disesuaikan ejannya dengan
Pedoman Umum Pembentukan Istilah dan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang
disempurnakan, contohnya kata research
dalam bahasa Inggris yang diintegrasikan ke dalam bahasa Indonesia dan diubah
menjadi kata riset. Untuk mengetahui apakah bahasa asing telah terintegrasi ke
dalam bahasa Indonesia umumnya bisa diukur dari keadaan bahasa atau kata
tersebut apakah sudah tercantum atau belum di dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia.
Proses penerimaan unsur
bahasa asing, khususnya unsur kosakata dalam bahasa Indonesia lebih banyak
terjadi melalui proses mendengar atau audial.
Apa yang didengar maka itulah yang akan diujarkan atau dituliskan sehingga
seringkali menimbulkan ketidakteraturan. Contohnya kata horloge menjadi arloji, dan kata appel menjadi apel, dan lain sebagainya. Akan tetapi, jika dilihat
dari konteks penyerapan bahasa maka proses pengintegrasian bahasa menurut Abdul
Chaer dan Leoni Agustina (2010: 129) bisa melalui dua proses, yakni:
1.
penerjemahan langsung, maksudnya kosakata
tersebut dicarikan padanannya dalam bahasa Indonesia. Misalnya airport menjadi bandar udara, joint venture menjadi usaha patungan, balance budget menjadi anggaran
berimbang, dan lain sebagainya.
2.
penerjemahan konsep, maksudnya konsep
bahasa asing tersebut diteliti dengan seksama kemudian dicarikan padanan
konsepnya yang paling dekat dalam bahasa Indonesia. Misalnya, begroting post menjadi mata anggaran, network menjadi jaringan, brother in law
menjadi ipar laki-laki, dan lain sebagainya.
Salah satu contoh
dampak positif dan negatifnya khususnya bagi bahasa Indonesia adalah
pengintegrasian bahasa bisa memperkaya khazanah kosakata bahasa Indonesia namun
bisa juga menimbulkan ketimpangan dari bahasa yang diserap. Misalnya
mengakibatkan konsonan /k/, /p/, /s/, /t/ yang seharusnya luluh menjadi tidak
dilluluhkan dengan alasan untuk mempermudah mengenali bentuk asli atau bentuk
dasarnya seperti program, proklamasi,
prakarsa, teraktir, transfer, transkripsi, sponsor, standar dan lain
sebagainya. Beberapa contoh konkritnya bisa dilihat pada kata memprogramkan
yang seharusnya memrogramkan, pemprograman seharusnya pemrograman, mentraktir
seharusnya menraktir, dan pemproklamsikan seharusnya pemroklamasikan.
o
Apa itu pidgin dan kreol ?
Thomason
(2001:159), menyatakan bahwa pidgin
secara tradisional adalah bahasa yang muncul dalam kontak situasi baru yang
melibatkan lebih dari dua kelompok kebahasaan. Kelompok-kelompok ini tidak
memiliki satupun bahasa yang diketahui secara luas diantara kelompok-kelompok
yang saling terkontak. Mereka perlu berkomunikasi secara teratur, namun untuk
tujuan yang terbatas, misalnya perdagangan. Dari beberapa kombinasi alasan
ekonomi, sosial dan politik, mereka tidak mempelajari bahasa yang digunakan
oleh masing-masing kelompok, melainkan hanya mengembangkan pidgin dengan
kosakata yang secara khusus digambarkan (meskipun tidak selalu) dari salah satu
bahasa yang mengalami kontak. Tata bahasa pidgin
tidak berasal dari salah satu bahasa manapun, melainkan merupakan sejenis
kompromi persilangan tata bahasa dari bahasa-bahasa yang terkontak, dengan
lebih atau sedikit terpengaruh oleh pembelajaran bahasa kedua universal; secara
khusus kemudahan belajar membantu menentukan struktur kebahasaan pidgin.
Pandangan-pandangan
mengenai pidgin di atas membawa beberapa implikasi, yaitu bahwa pidgin tidak memiliki penutur asli:
pidgin selalu digunakan sebagai bahasa kedua (atau ketiga, atau keempat,
atau...) dan secara khusus digunakan untuk tujuan terbatas bagi komunikasi
antarkelompok. Implikasi yang kedua, yaitu bahwa pidgin mempunyai lebih sedikit bahan atau materi linguistik
dibandingkan bahasa nonpidgin– lebih sedikit kata, serta tata bahasa dan sumber
gaya dalam sintak dan wacana yang terbatas.Contoh pidginisasi terjadi pada
kontak bahasa antara bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris di kawasan pariwisata
Bali.
Selanjutnya creol, sangat kontras dengan pidgin,
dimana creol mempunyai penutur asli
dalam komunitas ujaran. Seperti pidgin, creol
berkembang dalam kontak situasi yang didalamnya melibatkan lebih dari dua
bahasa. Creol secara khusus
menggambarkan leksikonnya, namun tidak tata bahasanya. Grammar creol sama seperti pidgin yang berasal
dari persilangan bahasa yang dikompromikan oleh kreator, seseorang yang mungkin
atau tidak mungkin memasukkan penutur asli dari bahasa lexfier. Pada kenyataan beberapa bahasa creol merupakan penutur asli pidgin.
Diglosia ?
Charles
Ferguson (1959) (diglossie; dalam
bahasa perancis, menginspirasi pembuatan uang logam Ferguson). Artikel
Ferguson dianggap sebagai referensi
klasik diglosia. Diglosia merupakan istilah yang digunakan untuk mengklasifikasikan situasi komunikasi dalam
masyarakat yang membuat penggunaan pelengkap pada pertukaran sehari-hari dari
dua kode yang berbeda, baik dua variasi bahasa yang berbeda ataupun dua
bahasa. Situasi tertentu mengisyaratkan penggunaan salah satu kode, bahasa A
pada pelarangan bahasa yang lain, bahasa B, yang mana hanya dapat digunakan
dalam situasi dimana bahasa pertama dilarang. Namun demikian, definisi ini
meliputi banyak variasi, situasi diglosia dalam sebuah mayoritas masyarakat,
contohnya di Inggris Raya, ada sebuah perbedaan antara bahasa Inggris yang
digunakan antara teman atau ketika berbelanja dan yang digunakan di universitas
atau konferensi-konferensi publik.
Perlu
ditekankan bahwa penggunaan yang lebih disukai dari istilah ini mengacu pada
masyarakat dimana perbedaannya ditandai secara khusus dan sering di sokong
dalam penggunaan variasinya (contohnya, bahasa standar/ patois,
Katharevusa/Demotic di Yunani dan Prancis/ kreol di mayoritas area pembicaraan
kreol Prancis). Umumnya, situasi diglosia ini merupakan situasi konflik bahasa
dimana satu dari bahasa tersebut diistilahkan dengan variasi/ragam ‘tinggi’ dan yang lain yang dianggap ‘rendah’. Istilah pertama digunakan
dalam situasi komunikasi yang dianggap
‘ningrat’ (menulis, penggunaan formal dan sebagainya) dan istilah berikutnya
digunakan dalam keadaan yang lebih informal (percakapan dengan keluarga,
sahabat yang sudah sangat dekat).
Penggunaan ragam tinggi
dapat ditemukan pada acara-acara seperti pidato kepresidenan, khotbah, kuliah,
atau ceramah. Selain itu ragam tinggi juga bisa ditemukan dari beberapa media
seperti televisi, radio, koran majalah dan lain-lain dalam pembicaraan formal. Acara-acara yang dimaksud contohnya dapat
disaksiakan atau ditemukan langsung pada saat siaran berita atau debat ilmiah,
tajuk rencana dan artikel di surat kabar. Faktor-faktor yang mempengaruhi
situasi diglosia menurut Sumarsono (2004: 199) antara lain partisipan, suasana, dan topik.
Pemertahanan
dan Kepunahan Bahasa
Pergeseran
bahasa berkaitan
dengan fenomena sosiolinguistik yang terjadi akibat
adanya kontak bahasa. Pergeseran
bahasa menyangkut masalah penggunaan bahasa oleh sekelompok penutur yang bisa
terjadi akibat perpindahan dari satu masyarakat tutur ke masyarakat tutur lain.
Apabila seseorang atau sekelompok penutur pindah ke tempat lain yang
menggunakan bahasa lain, dan berinteraksi dengan masyarakat tutur di wilayah
tersebut, maka akan terjadilah pergeseran bahasa. Kelompok pendatang umumnya
harus menyesuaikan diri dengan menanggalkan bahasanya sendiri dan menggunakan
bahasa penduduk setempat. Dengan kata lain, para pendatang cenderung
menyesuaikan diri dengan bahasa interlokutor. Proses pergeseran bahasa ini bisa
saja diawali oleh sejumlah kecil penutur dan baru dikatakan pergeseran penuh
ketika sejumlah kelompok atau guyub ikut serta melakukan penyesuain bahasa.
Pergeseran
bahasa biasanya terjadi di negara, daerah, atau wilayah yang memberi harapan
untuk kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik, sehingga mengundang imigran untuk mendatanginya. Misalnya, kota metropolitan Jakarta yang identik
dengan kota yang menjanjikan seseorang untuk mendapatkan kehidupan yang lebih
baik sehingga mendorong warga masyarakat dari berbagai daerah untuk datang
berbondong-bondong ke sana. Salah satu contoh, warga Maluku yang melakukan
migrasi ke Jakarta, secara perlahan karena adanya tuntutan situasi, kondisi,
dan kebutuhan maka mereka akan berpindah mempergunakan bahasa mereka ke bahasa
Indonesia.
Peristiwa pergeseran bahasa
setidaknya disebabkan oleh beberapa faktor, yakni dwibahasawan, migrasi, perkembangan ekonomi, adanya status bahasa yang
dianggap lebih tinggi oleh masyarakat sosial dan imperialisme atau penjajahan.
Dengan demikian, pergeseran bahasa terjadi pada
masyarakat dwibahasa atau multibahasa.
Faktor yang mendorong pergeseran
bahasa bisa saja berasal dari dalam diri individu yang memiliki rasa cinta akan
bahasa ibu sehingga menanamkannya kepada keluarga dan masyarakat dan dari rasa
persatuan serta kecintaan pada indentitas kelompok atau komunitas yang
dimiliki. Berikut ini beberpa contoh pemertahanan bahasa yang ada di dunia.
a. Pemertahananan bahasa Tiwa
Penelitian bahasa Tiwa dilakukan
oleh Ralp Fasold (1984), di Taos, New Mexico melalui kuesioner. Masyarakat Tiwa
adalah kelompok penghuni perkampungan Indian, jumlahnya sekitar 2000 orang,
sebagian besar masih menempati rumah nenek moyang mereka. Masyarakat Tiwa
merupakan masyarakat dwibahasa, kemudian bahasa Spanyol sebagai bahasa kedua
dan bahasa Inggris sebagai bahasa pertama. Selama beberapa abad masyarakat
Tiwa di bawah kekuasaan Mexico (yang
mayoritas berbahasa Spanyol) dan kemudian Amerika (yang berbahasa Inggris) dengan
jumlah yang sangat kecil. Hasil akhir dari penelitiannya ini adalah bahasa Tiwa
tetap bertahan di dalam komunitas masyarakat yang umumnya dwibahasa, bahasa
Tiwa sebagai B1 dan bahasa Inggris sebagai B2 (Sumarsono dan Partana, 2004:
257)
b. Pemertahanan bahasa Rongga
Penelitian ini dilakukan oleh I
Wayan Arka. Masyarakat Rongga tinggal di perbatasan trans- Flores. Secara
kekerabatan, bahasa Rongga termasuk keluarga besar Austronesia, sub-kelompok
Malayo-Polynesia Tengah, kemungkinan besar pada sub-kelompok Ngadha-Lio (Arka,
Artawa, Shibatani, and Wouk 2007). Bahasa dan budaya Rongga, seperti halnya
bahasa/budaya minoritas lainnya di Indonesia, semakin terpinggirkan. Tingkat
keterancampunahan Bahasa Rongga bisa dikategorikan bahasa yang bertahan namun
dengan jumlah penutur yang kurang. Dengan demikian, Faktor-faktor yang mempengaruhi pergeseran dan pemertahanan bahasa antara lain:
a.
kedwibahasaan atau
kemulitibahasaan
b.
industrialisasi
c.
imigrasi
d.
politik
e.
pendidikan
f.
mobilitas sosial
g.
efisiensi bahasa
h.
jumlah penutur
i.
konsentrasi pemukiman
Kepunahan Bahasa
Pakar
budaya dan bahasa Universitas Negeri Makasar (UNM), Prof. Dr. Zainuddin Taha,
mengatakan bahwa pada abad ini diperkirakan 50 persen dari 5.000 bahasa di
dunia terancam punah, atau setiap dua pekan hilang satu bahasa. Selanjutnya,
dikatakan olehnya bahwa Kepunahan tersebut bukan karena bahasa itu hilang atau
lenyap dari lingkungan peradaban, melainkan para penuturnya meninggalkannya dan
bergeser ke penggunaan bahasa lain yang dianggap lebih menguntungkan dari segi
ekonomi, sosial, politik atau psikologis. Di Indonesia sendiri, katanya,
keadaan pergeseran bahasa yang mengarah kepada kepunahan ini semakin nyata
dalam kehidupan sehari-hari terutama di kalangan keluarga yang tinggal di
perkotaan. Pergeseran ini tidak hanya dialami bahasa-bahasa daerah yang jumlah
penuturnya sudah sangat kurang (bahasa minoritas), tetapi juga pada bahasa yang
jumlah penuturnya tergolong besar (bahasa mayoritas) seperti bahasa Jawa, Bali,
Banjar, dan Lampung, termasuk bahasa-bahasa daerah di Sulawesi Selatan seperti
Bugis, Makassar, Toraja, dan Massenrempulu.
Bagaimanakah sebuah
bahasa dikatakan punah? Apakah ketika sebuah bahasa yang tidak dipakai lagi di
seluruh dunia disebut sebagai bahasa yang telah punah? Berkaitan dengan hal
ini, pendapat yang dikemukakan oleh Dorian ( di dalam Sumarsono dan Partana,
2002: 284) mengungkapkan jika kepunahan bahasa hanya dapat dipakai bagi
pergeseran total di dalam satu guyup atau komunitas saja dan pergeseran itu
terjadi dari satu bahasa ke bahasa yang lain, bukan dari ragam bahasa yang satu
ke ragam bahasa yang lain dalam satu bahasa. Artinya, bahasa yang punah tidak
tahan terhadap persaingan bahasa yang lain bukan karena persaingan prestise
antarragam bahasa dalam satu bahasa. Berdasarkan penjelasan Dorian ini, dapat
disimpulkan bahwa kepunahan bermakna terjadinya pergeseran total dari satu
bahasa ke bahasa yang lain dalam satu guyup atau kominitas tutur. Akan tetapi,
pada akhirnya para ahli bahasa ini menyimpulkan jika kepunahan bahasa ini bisa
mencakup pengertian yang luas dan terbatas.
Selanjutnya, Kloss (Sumarsono
dan Partana, 2002: 286) menyebutkan bahwa ada tiga tipe utama kepunahan bahasa, yaitu (1) kepunahan bahasa tanpa
terjadinya pergeseran bahasa; (2) kepunahan bahasa karena pergeseran bahasa
(guyub tutur tidak berada dalam wilayah tutur yang kompak atau bahasa itu
menyerah pada pertentangan intrinsik prasarana budaya modern yang berdasarkan
teknologi; dan (3) kepunahan bahasa nominal melalui metamorfosis (misalnya
suatu bahasa tutur derajatnya menjadi dialek ketika masyarakat tidak lagi
menulis dalam bahasa itu dan mulai memakai bahasa lain. Salah satu contoh
bahasa yang mengalami kepunahan karena pergeseran (terjadi pada abad ke-19)
yakni bahasa Gaeltacht di Irlandia. Masyarakat Irlandia lebih memilih untuk
meninggalkan bahasanya dan menggantinya dengan bahasa Inggris. Menurut beberapa
ahli, faktor-faktor yang menyebabkan kepunahan bahasa Gesltacht tersebut antara
lain:
a. rapuhnya
upaya untuk melindungi dan mempertahankan Gaeltacht
b. tidak
mempunyai guyub tutur yang terpusat di perkotaan
c. terjadinya
modernisasi
d. adanya
kehendak aktif dari masyrakat untuk bergeser
e. tidak
cukupnya konsentrasi masyarakat untuk menghadapi lingkungan yang kuat secara
ekonomi dan canggih teknologinya
f. tidak
adanya pengalihan (tansmisi) bahasa asli dari orang tua kepada anak-anaknya
g. tidak
adanya optimisme akan masa depan bahasa.
Kasus punahnya bahasa
Irlandia bisa saja dialami oleh bahasa Indonesia apabila masyarakat dan
pemerintah tidak bersikap tegas dan selektif terhadap berbagai budaya (bahasa)
yang masuk ke Indonesia. Menurut Halim (melalui Muslih, 2010: 20) setelah
bahasa Indonesia dikukuhkan sebagai bahasa persatuan, situasi kebahasaan
ditandai oleh dua tantangan. Tantangan pertama, yakni perkembangan bahasa
Indonesia yang dinamis, tetapi tidak menimbulkan pertentangan di antara
masyarakat. Pada saat bersamaan bangsa Indonesia mengalami kedewasaan
berbahasa. Sekarang tumbuh kesadaran emosional bahwa perilaku berbahasa tidak
terkait dengan masalah nasionalisme. Buktinya banyak orang yang lebih suka memakai
bahasa asing. Tantangan kedua, yakni persoalan tata istilah dan ungkapan
ilmiah. Tantangan kedua ini yang menimbulkan prasangka yang tetap dihadapi
ilmuan kita yang mengatakan bahawa bahasa Indonesia miskin, bahkan kita dituduh
belum mampu menyediakan sepenuhnya padanan istilah yang terdapat banyak dalam
disiplin ilmu, teknologi dan seni. Menurut Moeliono prasangka itu bertumpu pada
apa yang dikenal dan atau diketahui, tidak ada dalam bahasa Indonesia.
Beberapa kebiasaan yang
mendorong pergeseran bahasa Indonesia yang ditemukan di dalam masyarakat harus
segera dicegah dan dihilangkan untuk tetap mempertahankan identitas bangsa.
Kebiasaan-kebiasaan tersebut antara lain:
a. banyak
orang indonesia lebih suka menggunakan kata-kata, istilah-istilah, ungkapan-ungkapan
asing padahal kata-kata, istilah-istilah dan ungkapan itu sudah memiliki
padanan dalam bahasa Indonesia, bahkan sudah umum dipakai. Misalnya , page, background, reality, alternatif,
airport, masing-masing untuk halaman, latar belakang, kenyataan, kemungkinan
pilihan dan lapangan terbang atau bandara.
b. banyak
orang Indonesia menghargai bahasa asing secara berlebihan sehingga ditemukan
kata dan istilah asing yang amat asing, atau hiper asing. Hal ini karena salah
pengertian dalam menerapkan kata-kata asing tersebut, misalnya, rokh, insyaf, fihak, fatsal,syarat, syah,
dll.
c. banyak
orang Indonesia belajar dan menguasai bahasa asing dengan baik tetapi menguasai
bahasa Indonesia apa adanya. Terkait dengan itu, banyak orang Indonesia yang
mempunyai bermacam-macam kamus bahasa asing tetapi tidak memiliki satupun kamus
bahasa Indonesia. Keadaan ini mengakibatkan sering terjadinya kesalahan
penggunaan istilah seperti, yang mana yang kurang tepat, pencampuradukan penggunaan
kata tidak dan bukan, pemakaian kata ganti saya, kami, kita yang tidak jelas.
Upaya-upaya yang bisa
dilakukan untuk mencegah sekaligus menangani keterancampunahan bahasa-bahasa daerah
yang ada di Indonesia antara lain:
1. vitalisasi etnolinguistik
2.
menggiatkan penerbitan majalah berbahasa daerah bagi media cetak dan
menyediakan program khusus berbahasa daerah
3.
memasukkan sebagian kosakata bahasa
daerah ke dalam bahasa nasional
4.
menjadikan bahasa daerah sebagai mata
pelajaran wajib di berbagai jenjang pendidikan
5.
membentuk jurusan atau jika memungkinkan
fakultas di perguruan tinggi yang khusus membidangi bahasa daerah.
Penutup
Seiring dengan perkembangan kehidupan sosial manusia maka
bahasa juga akan mengalami perkembangan. Mulai dari bagaimana bahasa itu
diintegrasikan atau dimasukkan ke dalam bahasa tertentu dari masyarakat tutur
yang mengalami kontak bahasa sampai pada
bagaimana perkembangan bahasa resipien. Dampak yang dirasakan oleh bahasa yang
menjadi objek atau sarana tutur masyarakat ini sangat ditentukan oleh sikap
masyarakat tutur itu sendiri. Bahasa yang tetap dipergunakan dan dilestarikan
oleh masyarakat tuturnya tentunya akan tetap bertahan atau mengalami pemertahanan
dan hal yang sebaliknya akan terjadi pada bahasa yang tidak mendapatkan
perhatian dan usaha pemertahanan dari masyarakat tuturnya akan mengalami
kepunahan.
Daftar Pustaka
Abdul
Chaer dan Leoni Agustina. (2010). Sosiolinguistik
(perkenalan awal). Jakarta: PT Rineka Cipta
Fasold,
Ralph.The Sociolinguistics of Language.1990.Blackwell:
USA
Harimurti
Kridalaksana. (2008). Kamus linguistik
edisi keempat. Jakarta: PT Garamedia Pustaka Utama
Hasan
Alwi, et al. (2003). Tata bahasa baku
bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka
Masnur
Muslih. (2010). Tata bentuk bahasa
Indonesia (kajian ke arahtatabahasa
deskriptif). Jakarta: Bumi Aksara
Paulston,
Christina B dan Tucker Richard G. Sociolinguistics,
The Essential Reading. 2003: Blackwell Publishing:UK
Sumarsono
dan Paina Partana. (2004). Sosiolinguitik.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar