Rabu, 19 Juni 2013

Term of Adress



Term of Adress
oleh Diana mayasari_12706251068

Pendahuluan
Pada waktu saya ke kantim kampus beberapa hari yang lalu, saya di sapa dengan kata Nok. Kemudian ketika sapaan itu terlontar saya hanya berpikir, apakah ada yang salah dengan penampilan saya? Atau mungkin saya tidak sopan dalam bersikap? Seketika itu saya hanya diam dan mengiyakan sapaan itu. Setelah keluar dari kantin saya bertanya dengan teman saya yang berdomisili di Yogyakarta dan menanyakan makna kata Nok dalam sapaan terjadi. Sungguh saya kaget, ternyata Nok disini berbeda dengan Nok yang saya ketahui. Nok di Yogyakarta ditujukan sebagai sapaan yang pada orang yang lebih muda dengan rasa sayang. Hal ini berbeda dengan panggilan Nok yang ada di jawa timur. Khususnya pare. Kata nok memiliki arti cewek yang seksi dan denok-denok, bohai, serta pakaiannya ketat dan tubuh yang montok. Pada pembahasan kali ini kita akan membahasa mengenai Terms of addres (sapaan) dan honorifik. Kata sapaan bukanlah hal baru dalam bidang sosiolinguistik.  Kridalaksana (1982 : 14) menjelaskan bahwa kata sapaan merujuk pada kata atau ungkapan yang dipakai untuk memanggil para pelaku dalam suatu peristiwa bahasa.  Adapun pelaku yang dimaksud merujuk pada pembicara, lawan biara, serta orang yang sedang dibicarakan. Berdasarkan definisi tersebut terdapat dua unsur penting dalam sistem tutur sapa, yakni kata atau ungkapan dan para pelaku dalam suatu peristiwa bahasa. Kata atau ungkapan yang digunakan dalam sistem tutur sapa disebut kata sapaan yang berfungsi untuk memperjelas kepada siapa pembicaraan itu ditujukan.

Kata Sapaan Dalam Beberapa Bahasa
1.        Kata Sapaan dalam Bahasa Indonesia
Kridalaksana telah menggolongkan kata sapaan dalam bahasa Indonesia menjadi Sembilan jenis, yakni sebagai berikut: (1) kata ganti, seperti aku, kamu, dan ia; (2) nama diri, seperti Dealova dan Christina, (3) istilah kekerabatan, kakek, nenek, ayah dan ibu,(4) gelar dan pangkat, seperti dosen dan hakim, (5) bentuk pe + Verbal atau kata pelaku, seperti peronda dan petinju; (6) bentuk Nominal + ku seperti adikku (7) kata deiksis atau penunjuk, seperti sini dan situ; (8) kata benda lain, seperti tuan dan nyonya, serta (9) ciri zero atau nol, yakni adanya suatu makna tanpa disertai bentuk kata tersebut.
Dalam bahasa Indonesia, kata sapaan yang digunakan pembicara menyapa lawan bicaranya cukup bervariasi. Meskipun demikian, jenis kata sapaan yang tampaknya paling banyak digunakan adalah istilah kekerabatan (Kridalaksana, 1982:193). Pemilihan suatu bentuk kata sapaan dipengaruhi oleh dua faktor, yakni status dan fungsi. Status merupakan posisi sosial lawan bicara terhadap pembicara sedangkan status diartikan sebagai usia. Adapun fungsi yang dimaksud di atas adalah jenis kegiatan atau jabatan lawan bicara dalam suatu peristiwa bahasa atau pembicaraan. Berikut tabel status dan fungsi yang mempengaruhi kata sapaan terhadap lawan bicara dalam bahasa Indonesia.
Tabel 1. Status dan Fungsi yang Mempengaruhi Kata Sapaan dalam bahasa Indonesia
2.        Kata Sapaan dalam Bahasa- bahasa di Eropa
Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap pengguna bahasa-bahasa Eropa, seperti bahasa Prancis, bahasa Jerman, bahasa Italia, dan bahasa Spanyol, Fasold (Anisa Rahmania, 2009: 5) menjelaskan bahwa Brown dan Gilman menemukan bahwa pemilihan kata ganti orang kedua yang digunakan pembicara kepada lawan bicaranya dipengaruhi oleh dua faktor, yakni kekuasaan (power) dan solidaritas (solidarity).
Adanya kekuasaan serta solidaritas di antara pembicara dan lawan bicara memunculkan dua bentuk kata ganti orang kedua. Dua bentuk kata ganti orang kedua tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, Vos, selanjutnya disebut V,  digunakan untuk menyapa lawan bicara yang kedudukannya dianggap lebih tinggi dibandingkan pembicara. Kedua, Tu, selanjutnya disebut T, digunakan untuk menyapa lawan bicara yang kedudukannya dianggap lebih rendah dari pembicara.
Penggunaan V dan T oleh pembicara kepada lawan bicaranya dibagi ke dalam dua pola, yakni pola resiprokal, terdiri atas resipirokal V dan resipirokal T, yang menandakan hubungan horizontal dan pola nonresiprokal V-T yang menandakan vertikal.  Pada pola resiprokal V, kedua pembicara menggunakan V untuk saling menyapa lawan bicaranya. Demikian pula pada pola resiprokal T. Kedua pembicara menggunakan T untuk saling menyapa lawan bicaranya, sedangkan pada pola nonresiprokal, salah seorang pembicara menggunakan V dan pembicara lainnya menggunakan T. Penggunaan kedua pola tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.


Tabel 2. Pola Penggunaan V dan T oleh Pembicara
Penjelasan tabel di atas adalah sebagai berikut.  Apabila pembicara dan lawan bicara keduanya berkuasa, mereka akan saling menyapa dengan bentuk V.  Apabila pembicara dan lawan bicara keduanya tidak berkuasa, mereka akan saling menyapa dengan bentuk T.  Apabila pembicara lebih berkuasa daripada lawan bicara, pembicara akan menyapa lawan bicara dengan bentuk T dan disapa dengan bentuk V.  Demikian pula sebaliknya, apabila pembicara tidak lebih berkuasa daripada lawan bicara, pembicara akan menyapa lawan bicara dengan bentuk V dan disapa dengan bentuk T.  Pembicara yang memiliki tingkat kekuasaan yang sama dengan lawan bicara serta memiliki hubungan solidaritas akan saling menyapa dengan bentuk T.  Namun, apabila tidak memiliki hubungan solidaritas, mereka akan saling menyapa dengan bentuk V.
Pada tabel di atas, faktor kekuasaan lebih diutamakan daripada hubungan solidaritas dalam pemilihan kata ganti orang kedua. Oleh sebab itu, Brown dan Gilman juga membuat ilustrasi seperti yang terlihat pada tabel di bawah ini di mana faktor hubungan solidaritas juga mendapat peran dalam pemilihan kata ganti orang kedua.

Tabel 3. Faktor Solidaritas dalam Pemilihan Kata Ganti Orang Kedua

Penjelasan tabel di atas adalah sebagai berikut. Apabila pembicara lebih berkuasa daripada lawan bicara, tetapi memiliki hubungan solidaritas, pembicara menyapa lawan bicara dengan bentuk T dan dapat disapa dengan bentuk V dan T, demikian pula sebaliknya. Apabila pembicara lebih berkuasa daripada lawan bicara dan tidak memiliki hubungan solidaritas, pembicara dapat menyapa lawan bicara dengan bentuk V dan T, serta disapa dengan bentuk V, demikian pula sebaliknya. Apabila memiliki tingkat kekuasaan yang sama serta memiliki hubungan solidaritas, pembicara dan lawan bicara akan saling menyapa dengan bentuk T.  Namun, apabila tidak memiliki hubungan solidaritas, mereka akan saling menyapa dengan bentuk V. Dengan demikian terlihat bahwa hubungan solidaritas juga memiliki peran dalam terpilihnya satu bentuk kata ganti.

3.        Kata Sapaan dalam Bahasa Inggris Amerika
Ervin Tripp (melalui Rahmania, 2009: 7-10) melakukan penelitian terhadap kata sapaan yang digunakan oleh penutur bahasa Inggris Amerika. Kata sapaan yang digunakan tersebut merujuk pada kata ganti orang kedua. Dari penelitiannya tersebut, ia menemukan bahwa terdapat dua kaidah yang harus ada dalam penggunaan kata sapaan, yakni kaidah alternasi dan kaidah kookurensi.
Kaidah alternasi merupakan kaidah yang berkaitan dengan cara menyapa. Kaidah ini berhubungan dengan digunakannya suatu bentuk kata sapaan berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Adapun faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
a.         Situasi yang ditandai oleh status.
b.        Pangkat. 
c.         Perangkat identitas. 
Adapun kaidah kookurensi adalah kaidah kemunculan bersama bentuk sapaan dengan bentuk lain. Bentuk lain tersebut berupa struktur bahasa yang tepat sesuai dengan kata sapaan yang digunakan selama pembicaraan berlangsung. Misalnya, seorang pegawai yang sedang berbicara dengan atasannya akan menggunakan bentuk sir. Dengan demikian, selama pembicaraan berlangsung, pegawai tersebut akan menggunakan bahasa yang formal.
4.        Kata Sapaan dalam Bahasa Tondano
Penelitian tentang kata sapaan bahasa Tondano yang dibuat oleh Siska Rambitan (2010) menyatakan bahwa pada umumnya kata sapaan bahasa Tondano tidak mengenal gender, seperti puyun (cucu) dan panaken (keponakan). Untuk membedakan antara laki-laki dan perempuan ditambahkan kata wewene dan tuama dibelakang kata tersebut, sebagai contoh:
a.        Puyunku wewene maa’me waki tetekelan.
Cucuku perempuan menangis di tempat tidur.
b.        Teakan puyunku tuama umurou 2 tahun.
Hari ini cucuku laki-laki berusia 2 tahun.
c.         Panakenku wewene masekola waki wenang.
Keponakanku perempuan sekolah di kota.
d.        Panakenku tuama tumiba rano waki parigi.
Keponakanku laki-laki menimba air di sumur.
Dalam bahasa Tondano terdapat pula kata sapaan yang sama untuk gender yang berbeda, seperti kata kaawu atau ampit untuk menyebut isteri atau suami, dan manuang untuk menyebut orang tua menantu atau anak menantu. Untuk mengetahui apakah suami atau isteri yang dimaksud, atau orang tua menantu atau anak menantu yang dimaksud, dapat diketahui melalui konteks kalimat. Sebagai contoh:
a.         Kaawuku malutu’ rano waki awu.
Istriku/ suamiku memasak air di dapur.
b.        Woodo manuangku tumeles labung waki toko.
Esok mertuaku/ menantuku membeli baju di toko.
Kata sapaan bahasa Tondano dibedakan pula atas garis keturunan lineal, kolateral, dan afinal.
a.        Garis Keturunan Lineal
Garis keturunan lineal adalah istilah kekerabatan yang mengacu pada hubungan parakerabat yang berdasarkan satu garis keturunan langsung atau secara garis lurus dari egomeliputikerabat yang berada di atas maupun di bawah ego.
Kerabat yang berada di atas ego disapa dengan sapaan:
papa, pa’ ayah
mama, ma’ ibu
tete’, te’ kakek
nene’, ne’ nenek
Kerabat yang berada di bawah ego disapa dengan sapaan :
utu’, tu’ anak laki-laki
keke’,ke’ anak perempuan
puyun cucu (perempuan/ laki-laki)
puyun karua cece

b.        Garis Keturunan Kolateral
Garis keturunan kolateral adalah istilah kekerabatan yang mengacu pada kerabat yang berasal dari nenek moyang yang sama tetapi bukan dari satu garis keturunan langsung atau mengacu pada hubungan yang meliputi suatu garis horizontal antara dua bersaudara pada satugaris keturunan dengan ego. Istilah ini juga meliputi kerabat yang berada di atas ego dan dibawah ego, serta kerabat yang berada sejajar dengan ego atau pada generasi nol.
Kerabat di atas ego disapa dengan sapaan-sapaan:
mama oki’ bibi (adik dari ayah atau ibu)
ma tua’ bibi (kakak dari ayah atau ibu)
papa oki’ paman (adik dari ayah atau ibu)
papa tua’ paman (kakak dari ayah atau ibu)
Kerabat di bawah ego disapanya dengan sapaan:
panaken wewene keponakan laki-laki
panaken wewene keponakan laki-laki
panaken tuama keponakan perempuan
c.         Afinal
Istilah afinal yaitu kekerabatan yang menunjukkan hubungan yang terjadi karena adanyatali perkawinan. Istilah kekerabatan ini dibedakan berdasarkan jenis kelamin, tingkat generasi, dan garis keturunan.
1)        Jenis Kelamin
a)        Kerabat Wanita
Sapaan ego terhadap mereka adalah:
kaawu isteri
mama tua’, mama oki’ bibi
panaken wewene keponakan perempuan
manuang wewene mertua perempuan
manuang wewene menantu perempuan
b)        Kerabat laki-laki
kaawu suami
papa tua’, papa oki’ paman
panaken tuama keponakan laki-laki
manuang tuama menantu laki-laki
manuang tuama mertua laki-laki
2)        Generasi
Kekerabatan afinal menurut generasi terdiri dari:
a)        Generasi Nol
Generasi ini yakni para kerabat yang sejajar dengan ego, yaitu suami, isteri dan saudaraipar. Sapaan ego terhadap mereka adalah:
kaawu suami
kaawu isteri
tuari ipar wewene adik ipar perempuan
tuari ipar tuama adik ipar laki-laki
pekaka’an ipar wewene kakak ipar perempuan
pekaka’an ipar tuama kakak ipar laki-laki
b)        Generasi satu tingkat di atas ego
Generasi ini yaitu para kerabat afinal yang berada satu tingkat di atas ego yaitu paman, bibi, ayah, ibu, ibu mertua, atau ayah mertua. Sapaan ego terhadap mereka ialah:
papa’, pa’ ayah
mama’, ma’ ibu
papa oki’, papa tua’ paman
mama oki’, ma tua’ bibi
manuang wewene/manuang tuama ibu mertua/ayah mertua
c)        Generasi satu tingkat di bawah ego
Generasi yang berada satu tingkat di bawah ego dalam kerabat afinal yaitu para keponakan ego atau anak dari saudara laki-laki atau perempuan ego. Sapaan ego terhadap mereka adalah:
panaken wewene keponakan perempuan
panaken tuama keponakan laki-laki
Contoh: panakenku wewene kimanou durian
Keponakanku makan durian
panakenku tuama ma’ayang rano waki tambu’ sela
Keponakanku laki-laki bermain air di kolam ikan besar
d)       Generasi dua tingkat di bawah ego
Kerabat afinal yang berada dua tingkat di bawah ego yaitu cucu kemenakaan ego atau anak dari anak perempuan atau laki-laki dari saudara laki-laki atau perempuan ego. Sapaan ego terhadap mereka ialah:
puyun wewene cucu perempuan
puyun tuama cucu laki-laki.

DAFTAR PUSTAKA 

Kridalaksana, Harimurti. 1982. Dinamika Tutur Sapa dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Bhratara.

Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik (ed. ke-4). Jakarta: Gramedia.
 
Rahmania, A.  2009.  Kata Sapaan. Jakarta: Universitas Indonesia.

Rambitan, S.  2010.  Bentuk Sapaan Bahasa Tondano. Manado: Universitas Sam Ratulangi Manado.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar