Term of Adress
oleh Diana mayasari_12706251068
oleh Diana mayasari_12706251068
Pendahuluan
Pada waktu saya ke
kantim kampus beberapa hari yang lalu, saya di sapa dengan kata Nok. Kemudian ketika sapaan itu
terlontar saya hanya berpikir, apakah ada yang salah dengan penampilan saya?
Atau mungkin saya tidak sopan dalam bersikap? Seketika itu saya hanya diam dan
mengiyakan sapaan itu. Setelah keluar dari kantin saya bertanya dengan teman
saya yang berdomisili di Yogyakarta dan menanyakan makna kata Nok dalam sapaan terjadi. Sungguh saya
kaget, ternyata Nok disini berbeda dengan Nok yang saya ketahui. Nok di
Yogyakarta ditujukan sebagai sapaan yang pada orang yang lebih muda dengan rasa
sayang. Hal ini berbeda dengan panggilan Nok yang ada di jawa timur. Khususnya
pare. Kata nok memiliki arti cewek yang seksi dan denok-denok, bohai, serta
pakaiannya ketat dan tubuh yang montok. Pada pembahasan kali ini kita akan
membahasa mengenai Terms of addres
(sapaan) dan honorifik. Kata sapaan bukanlah hal baru dalam bidang
sosiolinguistik. Kridalaksana
(1982 : 14)
menjelaskan bahwa kata
sapaan merujuk pada kata atau ungkapan yang dipakai untuk memanggil para pelaku
dalam suatu peristiwa bahasa. Adapun
pelaku yang dimaksud merujuk pada pembicara, lawan biara, serta orang yang
sedang dibicarakan. Berdasarkan definisi tersebut terdapat dua unsur penting dalam sistem tutur sapa,
yakni kata atau ungkapan dan para pelaku dalam suatu peristiwa bahasa.
Kata atau ungkapan yang
digunakan dalam sistem tutur sapa disebut kata sapaan yang
berfungsi untuk memperjelas
kepada siapa pembicaraan itu ditujukan.
Kata
Sapaan Dalam Beberapa Bahasa
1.
Kata
Sapaan dalam Bahasa Indonesia
Kridalaksana telah menggolongkan kata sapaan dalam bahasa Indonesia
menjadi Sembilan jenis, yakni sebagai berikut: (1) kata ganti, seperti aku,
kamu, dan ia; (2)
nama diri, seperti Dealova dan Christina, (3) istilah kekerabatan, kakek, nenek, ayah
dan ibu,(4) gelar dan pangkat, seperti dosen dan hakim, (5)
bentuk pe + Verbal atau kata pelaku,
seperti peronda dan petinju; (6)
bentuk Nominal + ku seperti adikku (7)
kata deiksis atau penunjuk, seperti sini dan situ; (8) kata benda lain, seperti tuan dan nyonya, serta (9) ciri zero atau nol, yakni adanya suatu
makna tanpa disertai bentuk kata tersebut.
Dalam bahasa Indonesia, kata sapaan yang digunakan pembicara menyapa lawan
bicaranya cukup bervariasi. Meskipun demikian, jenis kata sapaan yang tampaknya paling banyak digunakan adalah istilah kekerabatan (Kridalaksana,
1982:193).
Pemilihan suatu bentuk kata
sapaan dipengaruhi oleh dua faktor, yakni status
dan fungsi.
Status merupakan
posisi sosial lawan bicara terhadap pembicara
sedangkan
status diartikan sebagai usia. Adapun fungsi yang dimaksud di
atas adalah jenis kegiatan atau jabatan lawan bicara dalam suatu peristiwa
bahasa atau pembicaraan. Berikut tabel status dan fungsi yang mempengaruhi kata
sapaan terhadap lawan bicara dalam bahasa Indonesia.
Tabel 1. Status
dan Fungsi yang Mempengaruhi Kata Sapaan dalam bahasa Indonesia
2.
Kata
Sapaan dalam Bahasa- bahasa di
Eropa
Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap pengguna bahasa-bahasa
Eropa, seperti bahasa Prancis, bahasa Jerman, bahasa Italia, dan bahasa
Spanyol, Fasold (Anisa Rahmania, 2009: 5) menjelaskan bahwa Brown dan Gilman menemukan bahwa pemilihan kata ganti
orang kedua yang digunakan pembicara kepada lawan bicaranya dipengaruhi oleh
dua faktor, yakni kekuasaan (power) dan
solidaritas (solidarity).
Adanya kekuasaan serta solidaritas di antara pembicara dan lawan bicara
memunculkan dua bentuk kata ganti orang kedua.
Dua bentuk kata ganti orang
kedua tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, Vos, selanjutnya disebut V, digunakan untuk menyapa lawan bicara yang
kedudukannya dianggap lebih tinggi dibandingkan pembicara. Kedua, Tu, selanjutnya disebut T, digunakan untuk menyapa lawan bicara
yang kedudukannya dianggap lebih rendah dari pembicara.
Penggunaan V dan T oleh pembicara kepada lawan bicaranya dibagi ke dalam
dua pola, yakni pola resiprokal, terdiri atas resipirokal V dan resipirokal T,
yang menandakan hubungan horizontal dan pola nonresiprokal V-T yang menandakan
vertikal. Pada pola
resiprokal V, kedua pembicara menggunakan V untuk saling menyapa lawan
bicaranya. Demikian pula pada pola resiprokal T.
Kedua pembicara menggunakan T
untuk saling menyapa lawan bicaranya, sedangkan pada pola nonresiprokal, salah
seorang pembicara menggunakan V dan pembicara lainnya menggunakan T. Penggunaan
kedua pola tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2. Pola
Penggunaan V dan T oleh Pembicara
Penjelasan tabel di atas adalah sebagai berikut. Apabila pembicara dan lawan bicara keduanya
berkuasa, mereka akan saling menyapa dengan bentuk V. Apabila pembicara dan lawan bicara keduanya
tidak berkuasa, mereka akan saling menyapa dengan bentuk T. Apabila pembicara lebih berkuasa daripada lawan bicara,
pembicara akan menyapa lawan bicara dengan bentuk T dan disapa dengan bentuk
V. Demikian pula sebaliknya, apabila
pembicara tidak lebih berkuasa daripada lawan bicara, pembicara akan menyapa
lawan bicara dengan bentuk V dan disapa dengan bentuk T. Pembicara yang memiliki tingkat kekuasaan yang sama
dengan lawan bicara serta memiliki hubungan solidaritas akan saling menyapa
dengan bentuk T. Namun, apabila tidak
memiliki hubungan solidaritas, mereka akan saling menyapa dengan bentuk V.
Pada tabel di atas, faktor kekuasaan lebih diutamakan daripada
hubungan solidaritas dalam pemilihan kata ganti orang kedua.
Oleh sebab itu, Brown dan
Gilman juga membuat ilustrasi seperti yang terlihat pada tabel di
bawah ini di mana faktor
hubungan solidaritas juga mendapat peran dalam pemilihan kata ganti orang kedua.
Tabel 3. Faktor
Solidaritas dalam Pemilihan Kata Ganti Orang Kedua
Penjelasan tabel di atas adalah sebagai berikut.
Apabila pembicara lebih
berkuasa daripada lawan bicara, tetapi memiliki hubungan solidaritas, pembicara
menyapa lawan bicara dengan bentuk T dan dapat disapa dengan bentuk V dan T,
demikian pula sebaliknya.
Apabila pembicara lebih
berkuasa daripada lawan bicara dan tidak memiliki hubungan solidaritas,
pembicara dapat menyapa lawan bicara dengan bentuk V dan T, serta disapa dengan
bentuk V,
demikian pula sebaliknya.
Apabila memiliki tingkat
kekuasaan yang sama serta memiliki hubungan solidaritas, pembicara dan lawan
bicara akan saling menyapa dengan bentuk T.
Namun, apabila tidak memiliki hubungan solidaritas,
mereka akan saling menyapa dengan bentuk V. Dengan demikian terlihat bahwa hubungan solidaritas
juga memiliki peran dalam terpilihnya satu bentuk kata ganti.
3.
Kata
Sapaan dalam Bahasa Inggris Amerika
Ervin Tripp (melalui Rahmania, 2009: 7-10) melakukan penelitian terhadap kata sapaan yang
digunakan oleh penutur bahasa Inggris Amerika.
Kata sapaan yang digunakan
tersebut merujuk pada kata ganti orang kedua. Dari penelitiannya tersebut, ia
menemukan bahwa terdapat dua kaidah yang harus ada dalam penggunaan kata
sapaan, yakni kaidah alternasi dan
kaidah kookurensi.
Kaidah alternasi merupakan kaidah yang berkaitan dengan cara menyapa.
Kaidah ini berhubungan dengan digunakannya suatu bentuk kata sapaan berdasarkan
faktor-faktor yang mempengaruhinya. Adapun faktor-faktor tersebut adalah
sebagai berikut:
a.
Situasi
yang ditandai oleh status.
b.
Pangkat.
c.
Perangkat
identitas.
Adapun kaidah kookurensi
adalah kaidah kemunculan bersama bentuk sapaan dengan bentuk lain. Bentuk lain
tersebut berupa struktur bahasa yang tepat sesuai dengan kata sapaan yang
digunakan selama pembicaraan berlangsung. Misalnya, seorang pegawai yang sedang
berbicara dengan atasannya akan menggunakan bentuk sir. Dengan demikian, selama pembicaraan berlangsung, pegawai
tersebut akan menggunakan bahasa yang formal.
4.
Kata
Sapaan dalam Bahasa Tondano
Penelitian
tentang kata sapaan bahasa Tondano yang dibuat oleh Siska Rambitan (2010) menyatakan
bahwa pada
umumnya kata sapaan
bahasa Tondano tidak mengenal gender, seperti puyun (cucu)
dan panaken (keponakan). Untuk membedakan antara laki-laki dan perempuan
ditambahkan kata wewene dan tuama dibelakang kata tersebut, sebagai
contoh:
a.
Puyunku wewene maa’me waki
tetekelan.
Cucuku perempuan
menangis di tempat tidur.
b.
Teakan puyunku tuama umurou 2 tahun.
Hari ini cucuku
laki-laki berusia 2 tahun.
c.
Panakenku wewene masekola waki
wenang.
Keponakanku perempuan
sekolah di kota.
d.
Panakenku tuama tumiba rano waki
parigi.
Keponakanku
laki-laki menimba air di sumur.
Dalam bahasa Tondano terdapat pula kata sapaan yang
sama untuk gender yang berbeda, seperti kata kaawu atau ampit untuk
menyebut isteri atau suami, dan manuang untuk menyebut orang tua menantu
atau anak menantu. Untuk mengetahui apakah suami atau isteri yang dimaksud,
atau orang tua menantu atau anak menantu yang dimaksud, dapat diketahui melalui
konteks kalimat. Sebagai contoh:
a.
Kaawuku malutu’ rano waki awu.
Istriku/ suamiku
memasak air di dapur.
b.
Woodo manuangku tumeles labung waki
toko.
Esok
mertuaku/ menantuku membeli baju di toko.
Kata sapaan bahasa Tondano dibedakan pula atas garis
keturunan lineal, kolateral, dan afinal.
a.
Garis
Keturunan Lineal
Garis keturunan lineal adalah istilah kekerabatan
yang mengacu pada hubungan parakerabat yang berdasarkan satu garis keturunan
langsung atau secara garis lurus dari egomeliputikerabat yang berada di atas
maupun di bawah ego.
Kerabat
yang berada di atas ego disapa dengan sapaan:
papa, pa’ ayah
mama, ma’ ibu
tete’, te’ kakek
nene’, ne’ nenek
Kerabat
yang berada di bawah ego disapa dengan sapaan :
utu’, tu’ anak
laki-laki
keke’,ke’ anak
perempuan
puyun cucu
(perempuan/ laki-laki)
puyun karua cece
b.
Garis
Keturunan Kolateral
Garis keturunan kolateral adalah istilah kekerabatan
yang mengacu pada kerabat yang berasal dari nenek moyang yang sama tetapi bukan
dari satu garis keturunan langsung atau mengacu pada hubungan yang meliputi
suatu garis horizontal antara dua bersaudara pada satugaris keturunan dengan
ego. Istilah ini juga meliputi kerabat yang berada di atas ego dan dibawah ego,
serta kerabat yang berada sejajar dengan ego atau pada generasi nol.
Kerabat
di atas ego disapa dengan sapaan-sapaan:
mama oki’ bibi
(adik dari ayah atau ibu)
ma tua’ bibi
(kakak dari ayah atau ibu)
papa oki’ paman
(adik dari ayah atau ibu)
papa tua’ paman
(kakak dari ayah atau ibu)
Kerabat
di bawah ego disapanya dengan sapaan:
panaken wewene keponakan
laki-laki
panaken wewene keponakan
laki-laki
panaken tuama keponakan
perempuan
c.
Afinal
Istilah afinal yaitu kekerabatan yang menunjukkan
hubungan yang terjadi karena adanyatali perkawinan. Istilah kekerabatan ini
dibedakan berdasarkan jenis kelamin, tingkat generasi, dan garis keturunan.
1)
Jenis Kelamin
a)
Kerabat Wanita
Sapaan ego terhadap mereka adalah:
kaawu isteri
mama tua’, mama oki’ bibi
panaken wewene keponakan
perempuan
manuang wewene mertua
perempuan
manuang wewene menantu
perempuan
b)
Kerabat laki-laki
kaawu suami
papa tua’, papa oki’ paman
panaken tuama keponakan
laki-laki
manuang tuama menantu
laki-laki
manuang tuama mertua
laki-laki
2)
Generasi
Kekerabatan afinal menurut generasi terdiri dari:
a)
Generasi Nol
Generasi ini yakni para kerabat yang sejajar dengan
ego, yaitu suami, isteri dan saudaraipar. Sapaan ego terhadap mereka adalah:
kaawu suami
kaawu isteri
tuari ipar wewene adik
ipar perempuan
tuari ipar tuama adik
ipar laki-laki
pekaka’an ipar wewene kakak
ipar perempuan
pekaka’an ipar tuama kakak
ipar laki-laki
b)
Generasi satu tingkat di atas ego
Generasi ini yaitu para kerabat afinal yang berada
satu tingkat di atas ego yaitu
paman,
bibi, ayah, ibu, ibu mertua, atau ayah mertua. Sapaan ego terhadap mereka
ialah:
papa’, pa’ ayah
mama’, ma’ ibu
papa oki’, papa tua’ paman
mama oki’, ma tua’ bibi
manuang wewene/manuang
tuama ibu mertua/ayah mertua
c)
Generasi satu tingkat di bawah ego
Generasi yang berada satu tingkat di bawah ego dalam
kerabat afinal yaitu para keponakan ego atau anak dari saudara laki-laki atau
perempuan ego. Sapaan ego terhadap mereka adalah:
panaken wewene keponakan
perempuan
panaken tuama keponakan
laki-laki
Contoh: panakenku
wewene kimanou durian
Keponakanku makan
durian
panakenku tuama
ma’ayang rano waki tambu’ sela
Keponakanku laki-laki
bermain air di kolam ikan besar
d) Generasi
dua tingkat di bawah ego
Kerabat afinal yang berada dua tingkat di bawah ego
yaitu cucu kemenakaan ego atau anak dari anak perempuan atau laki-laki dari
saudara laki-laki atau perempuan ego. Sapaan ego terhadap mereka ialah:
puyun wewene cucu
perempuan
puyun tuama cucu
laki-laki.
DAFTAR PUSTAKA
Kridalaksana, Harimurti. 1982. Dinamika
Tutur Sapa dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Bhratara.
Kridalaksana,
Harimurti. 2008. Kamus Linguistik (ed. ke-4).
Jakarta: Gramedia.
Rahmania, A. 2009. Kata
Sapaan. Jakarta:
Universitas Indonesia.
Rambitan, S.
2010. Bentuk Sapaan Bahasa Tondano. Manado: Universitas Sam Ratulangi Manado.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar