Jumat, 31 Mei 2013

HAKIKAT SOSIOLINGUISTIK



HAKIKAT SOSIOLINGUISTIKoleh Diana Mayasari - 12706251068
Pengantar
Manusia dalam kehidupan sehari-hari menggunakan komunikasi verbal dan nonverbal untuk memenuhi melaksanakan kehidupan yang selaras dengan manusia yang lainnya. pada komunikasi verbal manusia dapat menggunakan bahasa lisan yang diucapkan melalui artikulator, sedangkan vbahasa nonverbal dapat dilakukan melalui mimik dan gesture. Manusia merupakan makhluk hidup yang heterogen di dalamnya ada berbagai bahasa, budaya dan suku serta kelas. Berdasarkan hal tersebut maka mereka juga mempunyai beragam bahasa sebagai wujud dari latar belakang budaya dan lingkungan masyarakat yang berbeda atau bisa juga disebabkan oleh kelas sosial yang berbeda. Keanekaragaman bahasa yang dipengaruhi oleh masyarakat sebagai penutur bahasa merupakan fenomena yang akan dikaji oleh salah satu cabang linguistik yang dikenal dengan sosiolinguistik.
Apa itu sosiolinguistik?
Banyak ahli yang menyebutkan apa arti dari sosiolinguistik. dari etimologi sosiolinguistik berasal dari dua kata sosio dan linguistik. Sosio berasal dari sosiologi, yakni ilmu yang menelaah bidang sosial yang mengkaji bagaimana masyarakat itu terbentuk, bagaimana manusia beradaptasi, bersosialisasi, dan bagaiamana menyelesaikan berbagai masalah yang timbul dalam masyarakat, sedangkan linguistik diartikan sebagai ilmu bahasa atau kajian yang mengenai bahasa sebagai sasaran utamanya. Penjelasan lain menyebutkan sosio adalah masyarakat dan linguistik mengenai kajian bahasa. Sehingga sosiolinguistik tersebut lahir untuk menjawab berbagai fenomena sosial dan bahasa (Chaer dan Agustina, 2010: 2).
Spolsky (2008: 3) mengartikan sosiolinguistik sebagai ranah kajian diantara bahasa dan masyarakat sosial, diantara pengguna bahasa dan struktur sosial dimana penggunaa  bahasa itu hidup. Trugill menyatakan bahwa sosiolinguistik adalah bagian dari linguistik yang berkaiatan dengan bahasa sebagai gejala sosial dan gejala kebudayaan. Implikasi dari pengertian ini menyatakan bahwa bahasa bukan hanya dianggap sebagi gejala sosial melainkan juga gejala kebudayaan (Sumarsono dan Partana, 2004: 3-4). Hal ini dikarenakan disamping masyarakat memiliki bahasa juga tak lepasdari budaya yang diciptakannya. Dengan demikian, sosiolinguistik adalah cabang ilmu bahasa yang mengkaji tiga aspek, yakni bahasa, masyarakat, dan bahasa yang dipengaruhi oleh masyarakat yang tidak terlepas dari budaya dan nilai-nilai kemasyarakatan.
Bagaimanakah hubungan sosiolinguistik dengan cabang ilmu lain?

a.      Sosiolinguistik dengan Linguistik Umum

Sosiolinguistik merupakan ilmu yang mengkaji linguistik yang dihubungkan dengan faktor sosiologi. Dengan demikian, sosiolinguistik tidak meninggalkan linguistik. Apa yang dikaji dalam linguistik dijadikan dasar bagi sosiolinguistik untuk menunjukkan perbedaan penggunaan bahasa yang dikaitkan dengan faktor sosial. Apa yang dikaji dalam linguistik, meliputi apa yang ditelaah De Saussure, kaum Bloomfieldien (Bloomfield, Charles Fries, dan Hocket) serta kaum Neo Bloomfieldien dengan deep structure dan surface structurenya, dipandang oleh sosiolinguis sebagai bentuk bahasa dasar yang ketika dikaitkan dengan pemakai dan pemakaian bahasa akan mengalami perubahan dan perbedaan.
Kajian mengenai fonologi, morfologi, struktur kalimat, dan semantik leksikal dalam linguistik dipakai oleh sosiolinguistik untuk mengungkap struktur bahasa yang digunakan oleh tiap-tiap kelompok tutur sesuai dengan konteksnya. Karenanya, tidaklah mungkin seorang sosiolinguis dapat mengkaji bahasa dengan tanpa dilandasi pengetahuan mengenai linguistik murni itu. Sosiolinguistik mengkaji wujud bahasa yang beragam karena dipengaruhi oleh faktor di luar bahasa (sosial), yang dengan demikian makna sebuah tuturan juga  ditentukan oleh faktor di luar bahasa. Untuk dapat mengungkap wujud dan makna  bahasa sangat diperlukan pengetahuan tentang linguistik murni (struktur bahasa), supaya kajian yang di lakukan dengan dasar sosiolinguistik tidak meninggalkan objek bahasa itu sendiri (Sumarsono dan Partana, 2004: 7-9).
b.      Sosiolinguistik dengan Dialektologi

Dialektologi merupakan ilmu yang mempelajari variasi bahasa atau berbagai dialek bahasa yang tersebar di berbagai wilayah dengan tujuan mencari hubungan kekerabatan. Dialektologi memeiliki persamaan dengan sosiolinguistik. hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Sumarsono dan Partana (2004: 9-11) bahwa persamaan tersebut terletak pada penggunaan metode dalam penelitian keduanya sama-sama menggunakan metode komparatif. Sedangkan segi perbedannya, sosiolinguitik menelaah tentang pergeseran bahasa, variasi bahasa, dengan menitikberatkan pada batas-batas kemasyarakatan (usia, jenis kelamin, status sosial, lapisan sosial dan sebagainya) bukan atas dasar batas-batas regional, objek dialektologi yang menelaah asal muasal bahasa atau hanya berfokus pada dialek regional yang didasarkan atas batas-batas wilayah alam.
c.       Sosiolinguistik dengan Retorika

Retorika diartikan sebagai kajian tentang tutur terpilih (slected speech), seperti gaya bahasa (style). Dalam hal ini kaitan antara sosiolinguistik dan retorika penutur dalam memilih style tidak hanya dilihat dari apa yang ingin dikatakan atau bentuk – bentuk bahasa yang ingin dikeluarkan (seperti yang dikaji retorika) tapi juga dengan siapa ia akan bertutur pada situasi apa serta atau harus memperhatikan konteks pertuturan. Selain itu kesejajaran diantara keduanya adalah variasi bahasa sebagai objek studi keduanya. Namun, pada dimensi sosiolinguistik tidak hanya mengkaji bentuk-bentuk bahasa yang terpilih saja namun dikaitkan dengan faktor yang menyebabkan munculnya bentuk bahasa tersebut. Hal ini bisa dikaitkan dengan komponen tutur yang disampaikan oleh Hymes dalam akronim SPEAKING
d.      Sosiolinguistik dengan Psikologi

Hubungan Sosiolinguistik dengan Psikologi Pada masa Chomsky, linguistik mulai dikaitkan dengan psikologi dan dipandang sebagai ilmu yang tidak independen. Lebih jauh Chomsky mengatakan (1974) bahwa linguistik bukanlah ilmu yang berdiri sendiri. Linguistik merupakan bagian dari psikologi dalam cara berpikir manusia. Chomsky melihat bahasa sebagai dua unsur yang bersatu, yakni competence dan performance. Competence merupakan unsur dalam bahasa (deep structure) dan menempatkan bahasa dari segi kejiwaan penutur, sedangkan competence merupakan unsur yang terlihat dari parole (Brown, 2007: 12 ). Dengan demikian, Chomsky memandang bahwa bahasa bukanlah gejala tunggal, namun dipengaruhi oleh faktor kejiwaan penuturnya.
 Apa yang dikemukakan Chomsky tentang struktur dalam dan struktur luar digunakan oleh sosiolinguistik sebagai pedoman bahwa tuturan yang nampak  sebenarnya hanyalah perwujudan dari segi kejiwaan penuturnya. Lebih lanjut sosiolinguistik membuka diri untuk menelaah perbedaan bentuk tuturan itu. Kaitan antara competence dan performance terlihat dari penggunaan bahasa penutur. Orang dikatakan mempunyai kompetensi dan performansi yang baik apabila dapat menggunakan berbagai variasi bahasa sesuai dengan situasi. Orang yang berperformansi baik tentulah memiliki kompetensi yang baik, dan memungkinkan penggunaan kode luas (elaborated code). Sebaliknya, orang yang kompetensinya rendah, akan muncul kode terbatas (restricted code).
Dalam psikologi perkembangan terdapat fase perkembangan. mulai menangis (tangis bertujuan: lapar, dingin, takut), tengkurap, duduk, merangkak, dan berjalan. Kesemuanya diikuti atau sejalan dengan perkembangan kebahasaannya (Mackey (1965) melalui Iskandarwassid dan Sunendar (2010: 85). Dalam sosiolinguistik, hal ini diadopsi sebagai variasi bahasa dilihat dari segi usia penutur, (orang mempelajari bahasa sesuai dengan tingkat perkembangannya). Karenanya dikenal juga variasi bahasa remaja dan manula. Dari sudut psikologi, laki-laki memiliki kejiwaan yang secara umum berbeda dengan wanita. Karenanya, apa yang mereka tuturkan juga tidak sama. Sosiolinguistik mentransfer konsep ini, sehingga muncullah istilah variasi bahasa berdasarkan genus atau jenis kelamin (Bahasa dan Jenis Kelamin, Sumarsono dan Partana, 2004: 97-130).
e.       Sosiolinguistik dengan sosiologi

Sumarsono dan Partana (2004: 5-7) mengemukkan persamaan sosiolingguistik dengan sosiologi sebagai berikut.
1.      Sosiolinguistik memerlukan data atau subjek lebih dari satu orang individu.
2.      Menggunakan metode kuantitaif dengan teknik sampling random atau acak
3.      Menggunakan metode wawancara, rekaman, dan pengumpulan dokumen
4.      Pengolahan data menggunakan metode deskriptif.
5.      Keduanya memiliki hubungan simbiosis mutualisme (timbal balik) sebagai berikut.
a.       Data sosiolinguistik yang memberikan ciri-ciri kehidupan sosial, menjadi barometer untuk sosiologi.
b.      Aspek sikap berbahasa mempengaruhi budaya material dan spiritual suatu Masyarakat.
c.        Bahasa yang diteliti secara sosiolinguistik adalah alat utama dari perkembanagan penegetahuan mengenai sosiologi.

Dengan kata lain, sosiolinguistik membantu sosiologi dalam mengklasifikasi strata sosial, seperti yang ditunjukkan oleh Labov dalam penelitiannya mengenai tuturan [r] dalam masyarakat Amerika dalam tingkat sosial yang berbeda.
f.        Sosiolinguistik dengan Antropologi
Antropologi merupakan kajian mengenai masyarakat, seperti asal usul budaya, adat istiadat, dan kepercayaan. Antropologi memandang bahwa budaya yang dimiliki masyarakat memiliki kaitan dengan bahasa. Jika kita menengok linguistik bandingan historis yang di dalamnya mengkaji asal usul bahasa menyebutkan bahwa suatu daerah yang mempunyai persamaan bahasa pasti memiliki kesamaan budaya atau terletak dalam daerah yang tidak saling berjauhan. Misalnya antara Indonesia dengan Malaysia yang mempunyai bahasa yang sama, yakni bahasa melayu austronesia.
Sosiolinguistik mengkaji ulang apa yang ditemukan oleh antropologi adanya kaitan antara budaya dan bahasa. Sehingga muncullah berbagai pandangan yang juga mempengaruhi penggunaan bahasa seperti hipotesis Saphir-Whorf. Kemudian melalui budaya yang dikaji oleh antropologi akan diketahui sistem kekerabatan yang kemudian diambil alih oleh sosiolinguistik dalam kaitannya dengan terms of addres atau kata sapaan. Selain itu, antropologi juga memberikan pengetahuan yang cukup bagaimana seorang penutur dari daerah lain berkomunikasi dengan warga yang berasal dari daerah yang berbeda. Hal tersebut merupakan kajian sosiolinguistik (Sumarsono dan Partana, 2004: 13-14).
g.      Sosiolinguistik dengan Pragmatik

Pragmatik merupakan kajian penggunaan bahasa yang dihubungkan dnegan konteks, yakni topik pembicaraan, tujuan, tempat dan sarana yang digunakan. Fakta ini digunakan oleh sosiolinguistik dalam menelaah variasi bahasa atau ragam bahasa. Jika pragmatik melihat tuturan dengan konteks, sosiolinguistik juga meilihat peristiwa tutur dengan mempertimbangkan konteks namun dilihat dari sisi yang berbeda. Konteks yang ada di dalam sosiolinguistik berkaitan dengan jenis kelamin, usia, pendidikan, dan  kelas sosial pengguna bahasa yang nantinya akan muncul slang, jargon dan register sedangkan pragmatik melihat konteks dari tempat, tujuan dan penutur. Meskipun demikian, keduanya harus memiliki dasar pengetahuan bersama “common ground” untuk memiliki pemahaman yang sebenarnya.

Penutup

Berdasarkan pemaparan yang telah diberikan dapat disimpulkan bahwa sosiolinguistik merupakan cabang linguistik yang mengkaji fenomena sosial berkaitan antara bahasa dan pengguna bahasa. Selain itu sosiolinguistik juga memiliki kaitan dengan cabang ilmu lainnya seperti sosiologi, dialektologi,  psikologi, retorika, linguistik umum, antropologi dan pragmatik serta masih banyak hubungan dengan cabang ilmu yang lainnya yang dapat memperkaya kajian sosiolinguistik serta dapat memperkaya ilmu pengetahuan khususnya ilmu pengetahuan tentang bahasa.



Daftar Pustaka
Brown. Douglas. 2008: Prinsip Pembelajaran Dan Pengajaran Bahasa Edisi Kelima. Jakarta.
Chaer, Abdul dan Agustina, Leonie. 2010. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Iskandarwassid dan Sunendar, Dadang. 2011. Strategi Pembelajaran Bahasa. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.
Spolsky, Bernard. 2008. Sosiolinguistics. New York: Oxford University Press.
Sumarsono dan Partana, Paina. 2004. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Minggu, 26 Mei 2013

VARIASI BAHASA: PENGGUNAAN BAHASA



VARIASI BAHASA: PENGGUNAAN BAHASA
(Slank, Jargon dan Register)
oleh Diana Mayasari_nim 12706251068

Pengantar
Bahasa memungkinkan manusia untuk membentuk kelompok sosial sebagai pemenuhan kebutuhannya untuk hidup bersama. Kelompok sosial merupakan sebuah kelompok yang di dalamnya antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya terikat dalam satu identitas diri dan terikat dalam satu aturan yang telah disepakati. Salah satu aturan yang terdapat dalam kelompok tersebut adalah seperangkat aturan bahasa.
Chaer (2003: 53) mengemukakan bahwa bahasa merupakan satu-satunya milik manusia yang tidak pernah lepas dari segala kegiatan dan gerak manusia sepanjang keberadaan manusia itu sebagai makhluk yang berbudaya dan bermasyarakat. Manusia sebagai pengguna bahasa tersebut bukanlah manusia yang homogen melainkan sekolompok individu yang heterogen. Berdasarkan alasan tersebet bahasa muncul dengan berbagai variasi seperti variasi bahasa berdasarkan pengguna dan penggunaanya. Pada pembahasan ini akan diulas mengenai variasi bahasa. Chaer dan agustina (2010: 66) mengemukakan sehubungan dengan variasi bahasa berkenaan dengan tingkat, golongan, status, dan kelas para penuturnya, muncullah bahasa yang disebut akrolek, basilek, mesolek, vulgar, slang, kolokial, jargon, argot, ken dan prokem. Pada ulasan kali ini kita akan menelaah lebih jauh mengenai slang, jargon, dan register.
Slang
Spolsky (1998: 35) menyebutkan bahwa the importance of language in establishing social identity is also shown in the case of slang. One way to characterize slang is as special kinds of “ intimate” or in group speech. Slang is a kind of jargon marked by its rejection of formal rules, its comparative freshness and its common ephemerality and its marked use to claim solidarity.

Pendapat Spolsky mengisyaratkan pentingnya bahasa dalam membangun identitas sosial juga ditunjukkan dalam kasus slang. Salah karakteristik slang adalah jenis khusus dari "bahasa intim" atau dalam ujaran kelompok. Slang adalah semacam jargon yang ditandai dengan penolakan terhadap aturan formal, berhubungan dengan kebaruan, dan berlangsung secara singkat serta penggunaannya ditandai untuk mengklaim solidaritas. Sedangkan Chaer dan Agustina (2010: 67) mengemukakan bahwa slang merupakan variasi sosial yang bersifat khusus dan rahasia, digunakan oleh kalangan tertentu secara terbatas serta tidak boleh diketahui oleh kalangan di kalangan di luar kelompok tersebut. Oleh karena itu, Spolsky menyebutkan bahwa ketika bahasa slang telah diketahui oleh anggota masyarakat atau kelompok lain, maka penutur yang mempunyai bahasa slang tersebut segera mencari istilah baru sebagai bentuk pembaruan dalam kelompok.
Slang digunakan sebagai bentuk solidaritas atau anggota kelompok secara bersama, merupakan sebuah kekuatan sosial yang penting dan mempunyai pengaruh yang kuat terhadap bahasa. Hubungan solidaritas didasari ide dari penyesuaian diri dalam penyebutan istilah yang ada dalam kelompok tersebeut. Ketika kita akan mengucapkan sesuatu kepada seseorang, tanpa disadari kita telah mengubah ujaran kita semakin dekat kepada mereka. Dengan cara yang sama, dengan memilih bentuk dari asosiasi bahasa dengan kelompok tertentu, kita akan membuat klaim untuk menghitung jumlah kata dari kelompok tersebut.
Slang adalah ujaran yang mengutamakan tuntutan anggota kelompok, dan menggagalkan dimensi asosiasi kekuatan bahasa formal seperti bahasa kelompok bahasa Aborigin di Australia yang terdapat perkumpulan orang laki-laki dengan menggunakan bahasa rahasia yang ditemukan pada suku bangsa atau rumpun. Aturan juga dimiliki oleh bahasa ini sehingga angota kelompok lebih mudah untuk mengenal ketimpangan atau sesuatu yang keluar dari bahasa slang, siapa yang tidak mengerti atau penyalahgunaan istilah slang. Slang membantu kita pada fungsi sosial, aturan dan menyatakan diri termasuk dalam lingkup sosial, mengizinkan pengguna bahasa untuk memaksakan atau menuntut anggota sebagai bentuk identitas atau solidaritas kelompok. Slang merupakan salah satu aspek ujaran dari para pemuda dan memiliki kelemahan.
Sifat dinamis adalah bagian efek yang dibutuhkan untuk mengembangkan istilah baru dalam kelompok ketika istilah slang dalam suatu kelompok telah diadopsi oleh kelompok lain. Oleh karena itu, slang memiliki kata kunci yang bersifat rahasia atau dirahasiakan hanya untuk komunitasnya saja seperti kelompok perampok, pencuri, jambret dan lain sebagainya. Slang  lebih banyak berupa kosakata dari pada bnetuk fonologi ataupun morfologi. Hal ini berbeda dengan register. Register sebagai variasi bahasa yang tidak hanya terdiri dari kosakata akan tetapi juga aspek bahasa lainnya seperti leksikal.

Contoh slang
Bahasa Indonesia :      jijay banget  artinya menjijikkan sekali
                                    Mau kemenong artinya  mau kemana
Bahasa Inggris            :          step  slang dari UK artinya berhenti
                                    Step slang dari US  artinya kabur
Kemudian istilah obama  oleh mahasiswa Universiy Of California, Los Angeles dimasukkan sebagai bahasa slang yang mempunyai arti keren serta masih banyak lagi contoh-contoh slang seperti munculnya bahasa banci di Surabaya, bahasa prokem di Malang yang telah diteliti oleh ahli bahasa sebelumnya.
Jargon
Semakin banyak seseorang menggunakan jargon maka seseorang tersebut akan semakin bangga dengan jargon yang digunakannya, mengapa demikian? Menjawab pertanyaan tersebut Soeparno (2002: 73) menyebutkan bahwa jargon merupakan wujud variasi bahasa yang pemakaiannya terbatas pada kelompok-kelompok sosial tertentu. Istilah-istilah yang digunakan sering tidak dimengerti oleh individu yang berada diluar komunitas atau masyarakat umum. Chaer dan Agustina (2010: 68) menyebutkan bahwa jargon adalah variasi sosial yang digunakan secara terbatas oleh kelompok-kelompok sosial tertentu. Dengan demikian, jargon itu sendiri hanaya dapat diemgerti oleh komunitas pengguna jargon, mislanya aparat kepolisian, dokter, pengacara tukang koran, dan sebagainya. Jargon memiliki dua fungsi sebagai berikut.
1.      Fungsi dalam penggunaanya, yaitu fungsi yang memudahkan bagi orang atau kelompok yang memahaminya, mempermudah pengungkapan keterangan yang panjang dan berbelit sehingga menjadi bahasa yang efektif dan efisien dalam komunitas tersebut.
2.      Fungsi sebagai iedentitas kelompk tertentu. Kemampuan dalam menggunakan jargon akan mempengaruhi kreadibilitas dan kelayakan seseorang dalam kelompok karena mampu memahami ide dasar dalam komunikasi kelompok tersebut. Selain itu jargon juga dapat meningkatkan image, citra, dan prestige. Oleh karena itu, seseorang yang sering menggunakan jargon sesuai dengan kelompok yang di ikutinya atau tempat bekerja yang digeluti seseorang tersbeut akan semakin bangga dengan register yang digunakannya.
Contoh jargon yang digunakan dalam komunikasi angkatan udara satuan radar 222 ploso di jombang. Terdapat kosakata seperti burung rajawali yang memiliki arti panglima satu dan kata kijang merah yang berarti musuh.
 Register
Holmes (1992: 276) memberikan pengertian mengai register dengan konsep yang lebih umum karena disejajarkan dengan konsep ragam (style), yakni merujuk pada variasi bahasa yang mencerminkan perubahan berdasarkan faktor-faktor situasi (seperti tempat/waktu, topik pembicaraan). Selain itu Wardhaugh (2006: 48) memahami register sebagai sebagai pemakaian kosakata khusus yang berkaitan dengan jenis pekerjaan maupun kelompok sosial terterntu.  Berdasarkan pengertian tersebut kesimpulan register merupakan variasi bahasa yang digunakan oleh kelompok tertentu dengan kosakata yang sama, tujuan yang sama dan dapat dipahami sesuai dengan konteks pembicaraan.
Halliday (1994:58-59) mengungkapkan ciri-ciri register sebagai berikut.
1.      Variasi bahasa berdasarkan penggunaanya dan ditentukan berdasarkan apa yang sedang dikerjakan (sifat kegiatan yang menggunakan bahasa).
2.      Mencerminkan proses sosial (berbagai kegiatan sosial)
3.       Register menyatakan hal yang berbeda sehingga cenderung berbeda dalam hal semantik, tatabahasa, dan kosakata (jarang dalam bidang fonologi)
Register lebih lanjut dijelaskan tidak hanya membahas soal variasi pilihan kata saja, tetapi akan melingkupi pilihan penggunaan struktur teks dan teksturnya, kohesi dan leksikogramatika, serta pilihan fonologi dan grafologinya. Variasi pilihan bahasa di dalam register akan terikat pada konteks situasi yang meliputi tiga variabel, yaitu medan (field), pelibat (tenor), dan sarana (mode). Medan akan merujuk apa yang terjadi sebagai gambaran proses sosial, apa yang sedang dilakukan partisipan dengan bahasa, dan lingkungan tempat terjadinya; pelibat akan menunjuk pada siapa saja yang berperan di dalam kejadian sosial, bagaimana sifat-sifatnya, status dan peran sosial yang dimiliki, sarana akan menunjuk pada apa yang diperankan dengan bahasa (persuasif, ekspositoris, atau didaktis) saluran apa yang digunakan (tulis dan lisan). Dengan demikian, register merupakan variasi bahasa yang digunakan pada situasi tertentu, oleh penutur yang berprofesi tertentu, pada tataran semantik, tata bahasa, dengan kata lain tidak hanya terdiri atas kosa kata saja sebagaimana slang dan jargon.
Contoh register:  kata operasi bagi dokter memiliki arti kegiatan pembedahan yang dilakukan pada hewan atau manusia. Hal ini tentu akan memiliki makna yang berbeda dengan operasi bagi para anggota militer yang dapt berarti merazia suatu tempat tertentu. Kata struktur bagi guru bahasa Indonesia yang emilki kaitan dengan kalimat tentu akan berbeda dengan struktur bagi ahli fisika yang dapat dikaitkan dengan atom.
Penutup
Berdasarkan ulasan di atas dapat disimpulkan beberapa hal berikut.
1.      Slang merupakan variasi bahasa kelompok tertentu yang digunakan sebagai penanda solidaritas dan bersifat rahasia.
2.      Jargon sebagai salah satu variasi pada kelompok tertentu yang berfungsi mengemban fungsi sosial bahasa kelomok tertentu, namun tidak ada tujuan untuk merahasiakan. Bahasa jargon hanya dapat dipahami oleh kelompok penggunanya saja.
3.      Register, sebagai variasi bahasa yang digunakan oleh penutur yang memiliki profesi tertentu seperti dokter, montir, guru yang memilki variasi bahasa sesuai dengan profesi mereka yang digunakan dalam situasi tertentu serta dapat dipahami oleh lawan tuturnya.
Daftar pusataka
Chaer, Abdul, dan Agustina, Leonie. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Spolsky, Bernard. 1998. Sociolinguistics. Oxford: Oxford University Press.
Halliday. M.A.K dan Ruqaiya Hasan. 1994. Bahasa, Konteks, dan Teks: Aspek Bahasa Dalam Pandangan Semiotik Sosial (Terjemahan Asrorudin Barori Tou). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Holmes, Janet. 1992. An Intrduction To Sosiolinguistics. London: Longman.
Wardhaugh. Ronald. 2006. An introductipn to sosiolinguistics. New York: Basil Blackwell

Jumat, 24 Mei 2013

NILAI PRAKTIS SOSIOLINGUISTIK DALAM PENGAJARAN BAHASA


Nilai Praktis Sosiolinguistik dalam Pengajaran Bahasa
oleh Diana Mayasari S. Pd
12706251068

Pendahuluan
Bahasa dapat diartikan sebagai alat komunikasi, sarana untuk mengekspresikan diri, dan merupakan bagian yang erat dari budaya serta nilai-nilai masyarakat penuturnya, yakni masyarakat bahasa. Bahasa mengalami berbagai fenomena sebagai bentuk keberadaan bahasa tersebut. Adanya berbagai budaya, suku, etnis, pendidikan, gender dan perpindahan yang ada di Indonesia merupakan salah satu sebab munculnya fenomena-fenomena bahasa.
Seiring perkembangan zaman fenomena bahasa telah banyak dikaji oleh para ilmuan. Berdasarkan pengkajian tersebut melahirkan berbagai cabang-cabang ilmu bahasa seperti sosiolinguistik, psikolinguistik, neurolinguistik, antropolinguistik, dan lain sebagainya. Penelitian feneomena bahasa turut mewarnai pembentukan tujuan pengajaran yang terdapat dalam kurikulum bahasa. Seperti yang diungkapkan Siahaan (1987: 5) kurikulum bahasa sebagai sarana terwujudnya tujuan pendidikan dipengaruhi banyak faktor, seperti politik bahasa, tradisi pengajaran, teori-teori pengajaran bahasa, kemudian hasil-hasil penelitian dalam kebahasaan yang menjadi dasar keilmuannya. Di samping itu tujuan penelitian bahasa di Indonesia dapat diarahkan kepada dua sasaran, yakni untuk kepentingan ilmu pengetahuan bahasa atau linguistik dan untuk kepentingan pengajaran bahasa Indonesia. Hal ini sesuai dengan pendapat Parera (1986: 9) bahwa penelitian bahasa dapat dipergunakan untuk mempersiapkan materi pengajaran, memperbarui metode mengajar, menambah pengetahuan tentang bahasa, dan melakukan analisis evaluasi tentang pengajaran dan pelajaran bahasa.
Berbicara mengenai pengajaran bahasa maka tidak lepas dari apa yang disebut linguistik terapan (applied linguistic). Sosiolinguistik dapat dikatakan sebagai linguistik terapan. Hal ini dikarenakan kajian sosiolinguistik tidak hanya dari struktur intern saja melainkan telaah dari struktur ekstern. Salah satu diantaranya digunakan sebagai landasan pengembangan praktis pengajaran bahasa. Kaitan antara sosiolinguistik, linguistik terapan, dan pengajaran bahasa akan diulas dalam tulisan ini. Berdasarkan latar belakang tersebut maka ulasan ini diberi judul Nilai Praktis Sosiolinguistik dalam Pengajaran Bahasa.
Sekilas Mengenai Sosiolinguistik
Sosiolinguistik menelaah bahasa yang dipengaruhi oleh masyarakat. Pernyataan tersebut sesuai dengan pendapat Spolsky (2010: 1) yang menyebutkan bahwa sosiolinguistik adalah bidang yang mempelajari hubungan antara bahasa dan masyarakat sosial, antara penggunaan bahasa dan struktur sosial di mana pengguna bahasa hidup. Kelebihan sosiolinguistik terletak pada masalah-maslah yang ditelaah dalam kajian tersebut. Tujuh dimensi sosiolinguistik yang dipaparkan Chaer dan Agustina (2010: 5) telah dirumuskan pada tahun 1964, di University of California, Los Angeles sebagai masalah yang dibicarakan dalam sosiolinguistik. Berikut uraian dari ketujuh dimensi tersebut.
1.      Identitas sosial dari penutur.
2.      Identitas sosial dari pendengar yang terlibat dalam proses komunikasi.
3.      Lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi.
4.      Analisis singkronik dan diakronik dari dialek-dialek sosial.
5.      Penilaian sosial yang berbeda oleh penutur akan perilaku bentuk-bentuk ujaran.
6.      Tingkatan variasi dan ragam linguistik, dan
7.      Penerapan praktis dari penelitian sosiolinguistik.
Salah satu dari beberapa dimensi tersebut yang dipilih oleh penulis untuk ditelaah adalah penerapan praktis dari penelitian sosiolinguistik. Dimensi masalah ini membicarakan kegunaan dari penelitian sosiolinguistik untuk mengatasi masalah-masalah praktis dalam masyarakat. Hal ini senada dengan pendapat Chaer dan Agustina (2010: 6) yang menyebutkan bahwa pengajaran bahasa, pembakuan bahasa, penerjemahan, mengatasi konflik sosial akibat konflik bahasa merupakan aplikasi praktis dari penelitian sosiolinguistik. Penerapan praktis penelitian sosiolinguisik dalan pengajaran bahasa adalah pokok permasalahan yang ditekankan dalam ulasan ini.
Nilai Praktis Sosiolinguistik dalam Pengajaran Bahasa
Pembelajaran bahasa tidak dapat berlangsung dengan baik tanpa memanfaatkan jasa ilmu-ilmu lain yang relevan dengannya seperti: psikologi, pedagogik, sosiologi, antropologi, manajemen, sosiolinguistik, psikolinguistik dan linguistik. Mengutip pemaparan Parera (1986: 1) bahwa linguistik mengajarakan teori-teori penganalisisan dan pendeskripsian bahasa sebagai satu objek studi yang mengajarakn komponen-komponen kebahasaan dan teknik-teknik pendeskripsian bahasa. Selain itu sosiolinguistik mengajarkan bagaimana penggunaan bahasa itu secara aktual dalam komunikasi khususnya dalam pengajaran. Dengan demikian pengajaran bahasa memiliki kaitan yang erat dengan sosiolingusitik.
Jika dilihat dari sudut objek kajian pengajaran bahasa erat sekali hubungnnya dengan linguistik, akan tetapi bila dilihat dari beberapa sudut yang lain keduanya menunjukkan beberapa titik perbedaan terutama jika ditinjau dari segi tujuan, metode dan sikap. Titik perbedaan itu terlihat dari uraian Kaseng (1989: 2) sebagai berikut.
1.       Tujuan, linguistik bertujuan menemukan kriteria atau teori universal yang akan menerangkan fenomena bahasa, sedangkan guru bahasa bertujuan membantu murid menguasai bahasa dengan materi yang diberikan melalui pengajaran.
2.      Metode linguistik menggunakan metode formal dan abstrak, sedangkan guru bahasa menggunakan metode fungsional dan praktis, seperti pendekatan komunikatif, pendekatan koordinatif dan lain sebagainya.
3.      Sikap, linguistik melihat bahasa sebagai suatu sistem sedangkan guru bahasa melilhat bahasa sebagai suatu keterampilan, baik itu keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.
Dengan adanya dua tendensi yang bersifat saling menjauhi antara dua hal yang kelihatan berbeda, tapi sangat bermanfaat untuk didekatkan terasa penting hadirnya cabang ilmu yang dikenal dengan nama linguistik terapan (applied Linguistic). Linguistik terapan berusaha menjembatani dua pandangan yang ada antara teoretis dan praktis yang disebabkan oleh perbedaan sikap, metode dan tujuan kedua kelompok tersebut. Secara umum yang dimaksud dengan ilmu terapan adalah pemanfaatan ilmu pengetahuan untuk merencanakan dan membuat desain bagi kegiatan yang praktis dalam kehidupan sehari-hari (Parera,1987:10). Jika dikatakan sosiolinguistik sebagai ilmu linguistik terapan, maka terapan yang dimaksud di sini memiliki arti pemanfaatan ilmu sosiolinguistik untuk kepentingan proses pengajaran bahasa.
Pengajaran bahasa pada suatu negara atau suatu daerah merupakan suatu keputusan politik, ekonomi dan sosial. Ini yang disebut kebijakan pengajaran bahasa. Apabila secara politis telah ditentukan, bahasa apa yang harus diajarkan, dan kepada siapa bahasa itu harus diajarkan, maka langkah selanjutnya adalah bahan apa yang harus diajarkan dan bagaimana cara mengajarkannya. Pernyataan tersebut sesuai dengan pendapat Parera (1986: 11) yang menjelaskan kebijakan pengajaran bahasa melalui bagan berikut.















Keterangan:
M= metode dan variabel-variabel bahan
T= variabel guru: apa yang dibuat oleh guru
I= variabel instruksi: apa yang diperoleh pelajar
S= variabel sosiokultural: apa dan bagaimana sikap lingkungan
L= variabel pengajar: apa yang dilakukan oleh pelajar.         

Lalu dimanakah fungsi sosiolinguistik dalam pengajaran bahasa? Para ahli bahasa tidak menjamin bahwa penemuan teoritis mereka akan berguna dalam pengajaran bahasa. Hal ini tercermin dari kontroversi pendapat mereka tentang peranan teori linguistik dalam pembelajaran bahasa. Ada dua kubu yang saling bertentangan. Yang pertama kontra dengan pendapat yang mengatakan bahwa teori mempunyai peranan dalam pengajaran bahasa. Pendapat ini dipelopori Robert Stokwell dan Sol saporta sedangkan yang kedua pro bahwa teori linguistik mempunyai peranan penting dalam pengajaran bahasa tokohnya adalah S.Pit Corder ( melalui Wahab, 1998: 112-114)
Beralih dari kontroversi ini melalui berbagai kajian menunjukkan bahwa sumber yang paling kuat dan tepat untuk menentukan silabus pembelajaran bahasa adalah linguistik baik sebagai ilmu murni ataupun terapan. Melalui kajian ini penulis mendukung bahwa teori linguistik mempunyai peranan penting dalam pengajaran bahasa. Berawal dari sinilah akan diketahui nilai praktis seperti apa yang akan diberikan sosiolinguistik. Kita bisa melihat kontribusi sosiolinguistik dalam pembelajaran bahasa melalui aplikasi linguistik, yakni bagaimana sumbangan sosiolinguistik dalam menentukan bahan pembelajaran, silabus dan pelaksanaan pengajaran bahasa. Merujuk pendapat Parera (1989:11-13) bahwa terdapat tiga tahap aplikasi linguistik berkaitan kontribusi linguistik dalam pengajaran bahasa sebagai berikut.
Tahap aplikasi pertama adalah tahap deskripsi linguistik. Tahapan ini memberi jawaban atas pertanyaan general tentang hakekat bahasa yang diajarkan. Tahapan ini tidak menjawab tentang apa yang akan diajarkan atau bagaimana suatu bahan akan disusun. Hal ini dikarenakan sumbangan atau kontribusi linguistik kepada pengajaran bahasa bersifat tidak langsung linguistik hanya memberikan sumbangan tersebut berupa bahan begitu juga sosiolinguistik. Gambaran dari aplikasi tahap pertama ini terlihat dalam bagan berikut.










Tahap aplikasi kedua berhubungan dengan soal isi silabus. Kita tidak akan mengajarkan keseluruhan bahasa. Dalam tahapan ini kita akan melakukan desain hasil. Untuk itu akan dilakukan pemilihan bahan. Kriteria pemilihan bahan pembelajaran bisa bermacam-macam pandangan Misalnya saja, manfaat bagi pembelajar, apa yang diperlukan pembelajar dalam kehidupan sehari-hari berkaitan dengan bahasa yang akan dipelajarinya, perbedaan antara bahasa ibu dan bahasa yang akan dipelajarinya, kesulitan apa yang dihadapi oleh pembelajar bahasa asing pada umumnya, variasi dialek perbandingan interlingual, dan perbedaan antara dua bahasa, seperti antara bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, bahasa Indonesia dengan bahasa Arab dan sebagainya (lebih luas lagi baca Richards, 2002: 51-89). Pemilihan bahan ini sangat erat sekali dengan aplikasi kajian sosiolinguistik terutama jika bahan pembelajaran ingin menyiapkan bagi pembelajar asing, seluk-beluk variasi dialek perbandingan interlingual dan perbandingan antara dua bahasa. Aplikasi tahapan kedua ini tergambar dalam bagan berikut.
                                                                                      



 


Tahap aplikasi ketiga merupakan tahap kegiatan pembelajaran bahasa karena pada tahap kedua belum bisa membuat silabus yang lengkap dan utuh tentang bahasa, maka kaidah-kaidah penyusunan silabus ini harus memperhatikan faktor linguistik, psikolinguistik maupun sosiolinguistik sebagai bahan pengajaran dan pendekatan proses belajar mengajar. Gambaran aplikasi ketiga bisa dilihat dalam bagan berikut.

Penutup
Berdasarkan uraian di atas kontribusi sosiolinguistik dalam pengajaran bahasa memiliki nilai praktis yang cukup signifikan terutama dalam memberikan informasi tentang hakekat bahasa dan pemilihan bahan ajar yang sesuai dengan konteks kemasyarakatan, kondisi sosial pembelajar bahasa, mengenai apa yang diajarkan, kapan, berapa lama materi tersebut diajarkan, pembuatan silabus, dan kegiatan pembelajaran bahasa. Oleh karena itu, tenaga pendidik, disarankan memahami kajian teori lingustik terutama ilmu-ilmu murni dan linguistik terapan. Selain itu, juga memperdalam sosiolinguistik mengingat bahwa bahasa tidak bisa lepas dari gejala dan fenomena sosial yang dalam hal pendidikan pengajar bahasa perlu memahami tingkat sosial kebahasaan pada siswa dan lingkungan tempat proses pembelajaran dan pemerolehan bahasa siswa.

DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2010. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Kaseng, Sjahruddin. 1989. Linguistik Terapan: Pengantar Menuju Pengajaran Bahasa yang Sukses. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan.
Parera, Jis Daniel. 1986. Linguistik Edukasional : Pendekatan Konsep dan Teori Pengajaran Bahasa. Jakarta: Erlangga.
Spolsky. Bernard. 2010. Sosiolinguistics. New York: Oxford University Press.
Wahab, Abdul. 1998. Isu Linguistik Pengajaran Bahasa dan Sastra. Surabaya: Airlangga University Press.